12 tahun lalu hari bersejarah
bagi identitas dan budaya istimewa Yogyakarta, yakni saat disahkan Undang-undang No.
13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 31 Agustus 2012. 11 tahun kemudian disusul penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya
dunia dalam Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committee
(WHC) di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 18 September 2023.
Dalam daftar Warisan Dunia UNESCO, Sumbu Filosofi Yogyakarta bertajuk
lengkap The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic
Landmarks, dicetuskan pertama kali oleh Raja Pertama Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono I pada abad ke-18. Konsep tata ruang Sumbu Filosofi
Yogyakarta ini dibuat berdasarkan konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan
lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di sebelah Selatan, Keraton
Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah Utara.
Struktur jalan tersebut termasuk beberapa kawasan disekelilingnya yang
penuh simbolisme filosofis merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang
keberadaan manusia. Meliputi daur hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi),
kehidupan harmonis antar manusia dan antara manusia dengan alam (Hamemayu
Hayuning Bawana), hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, antara
pemimpin dan rakyatnya (Manunggaling Kawula Gusti), serta dunia
mikrokosmik dan makrokosmik.
Sumbu
Filosofi yang terletak di pusat kota membuat eksistensi atribut-atribut Sumbu
Filosofi tersebut harus berdampingan dengan berbagai aktivitas sosial dan
ekonomi yang cukup dinamis. Keunikan dan kekhasan dari Sumbu Filosofi menjadi
destinasi wisata unggulan Yogyakarta. Sepanjang Tugu hingga Kraton Yogyakarta
hampir tidak pernah ‘tidur’ atau sepi dari wisatawan atau pengunjung. Pemda DIY
dan beberapa komunitas pegiat wisata membuat paket wisata Sumbu Filosofi.
Dinas Kebudayaan
DIY (Kundha Kabudayan) membuat paket keliling Sumbu Filosofi dengan menggunakan
armada Bus. Armada yang diberi nama Jogja Heritage Track (JHT) diawali
dari Kantor Disbud DIY melewati Tugu Pal Putih menuju Museum Sonobudoyo untuk
melihat keraton dilanjutkan menuju Panggung Krapyak sebelum akhirnya kembali ke
Kantor Disbud DIY. Tur dengan JHT selama sekitar1,5 jam ini terasa mengasyikan
dan menyenangkan.
Bus JHT melayani
tiga kali perjalanan setiap Senin-Jumat, dan Sabtu dua kali perjalanan. Total
bus JHT melayani 17 kali perjalanan selama Senin-Sabtu dengan target sebesar
1.360 track per tahun (Humas Pemda DIY, 2023). Sayangnya track
ini tidak diawali dari daur hidup manusia (Sangkan Paraning
Dumadi), yakni dari Panggung Krapyak, sehingga ada yang ‘hilang’ dari
makna Sumbu Filosofi.
Kemudian Pokdarwis Suryatmajan,
Kemantren Danurejan yang masih satu kawasan dengan Malioboro merintis wisata sepeda
Sumbu Filosofi yang diberi nama ‘Onthel Cycling Heritage Tour’. Wisata ni
menggunakan sepeda onthel Jawa menyusuri rute kawasan Kotabaru, Tugu Pal
Putih, Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, Kepatihan atau Kantor Gubernur DIY,
Kampung Ketandan, Jalan Margo Mulyo, Kawasan Titik Nol, Pasar Beringharjo,
Lorong Sayur Suryatani Kampung Suryatmajan, dan kembali ke titik berangkat di
Kampung Suryatmajan.
Walaupun wisata onthel
tersebut kurang mengena Sumbu Filosofi tetapi dapat mengenalkan Sejarah
Keistimewaan DIY. Peminatnya-pun lumayan banyak.
Paket wisata yang tak kalah unik dan menarik adalah wisata ‘Abdi Dalem’
Kraton Jogja. Wisatawan diberi seragam pakaian Abdi Dalem Kraton Jogja,
termasuk yang putri dirias sanggul lengkap seperti Abdi Dalem Kraton.
Wisatawan kemudian diajak masuk ke
dalam Kraton untuk berpraktek seperti Abdi Dalem, dan diakhiri dengan makan
siang khas sajian Kraton di Bale Raos. Sayangnya paket wisata terbatas ini baru
tahap uji coba, belum di-launching untuk wisatawan umum. Paket wisata
sejenis ini juga dilakukan oleh Pokdarwis Kadipaten Kemantren Kraton dengan
paket ‘Dinner’ di Dalem Kaneman. Wisatawan makan malam khas kuliner
Jogja dengan pakaian Gagrak Jogja sambil menikmati tarian khas Jogja.
Wisata Sumbu Filosofi ternyata
memiliki daya Tarik bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, sehingga
perlu ‘digarap’ secara serius. Masyarakat perlu digandeng untuk ikut
terlibat, tentu dalam bentuk kelembagaan resmi. Misalnya sepanjang Tugu Pal
Putih sampai Panggung Krapyak sudah ada kampung wisata Cokrodiningratan,
Sosromenduran, Ratmakan, Suryatmajan, Sayidan, Kauman, Dipowinatan, dan
Tamansari. Kampung wisata ini dapat diberdayakan melalui pelibatan dalam
pembuatan atraksi wisata Sumbu Filosofi. Tidak ketinggalan Pentahelix (Pemerintah,
Masyarakat, Akademisi, Media, Bisnis) perlu dilibatkan secara intensif untuk
menunjang wisata Sumbu Filosofi.
Yogyakarta, 26 Agustus 2024
Ttd
Arif Sulfiantono,
S.Hut., M.Agr.
Penyuluh Wisata Dinas Pariwisata DIY & Dosen Praktisi Prodi Bisnis Perjalanan Wisata Sekolah Vokasi UGM