3 kali sejak tahun 2020 Upacara Labuhan Merapi dilaksanakan saat pandemi Covid-19. Labuhan Merapi dilaksanakan setiap tanggal 30 Rejeb (bulan Jawa). Tahun ini Labuhan Merapi dilaksanakan pada tanggal 4-5 Maret 2022, di Dusun Kinahrejo, Kalurahan Umbulharjo, Kemantren Cangkringan, Sleman.
Upacara adat yang rencananya dilaksanakan dengan sederhana dan terbatas karena kondisi pandemi ini merupakan momen terbaik untuk evaluasi atas hasil kerusakan alam akibat ulah manusia. Covid-19 adalah salah satu dampak dari rekayasa teknologi yang menyebabkan ke-tidak-seimbang-an alam, sedangkan Labuhan Merapi bentuk dari keharmonisan manusia hidup bersama alam.
Upacara adat ini juga merupakan upaya perlindungan dan pengelolaan alam yang integratif, berkelanjutan, dan konsisten melalui budaya lokal oleh masyarakat dan pemerintah. Labuhan Merapi adalah manifestasi ungkapan syukur atas Jumenengan (Penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X. Prinsipnya ritual adat ini merupakan ekspresi rasa syukur kepada Tuhan dari Masyarakat Lereng Merapi.
Hutan Srimanganti yang digunakan untuk upacara Labuhan di Kinahrejo merupakan hutan alam yang masih terjaga kelestariannya, apalagi sejak tahun 2004 kawasan hutan ini masuk kawasan hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Area ini masuk dalam zona Religi TNGM. Jalur labuhan Merapi juga telah berhasil direstorasi oleh warga Merapi bersama Balai TNGM dengan tumbuhan asli Merapi.
Nilai budaya yang dipegang erat masyarakat Merapi tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dari Kraton Mataram dan Yogyakarta. Masyarakat masih memegang kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi, Kraton dan Pantai Selatan terjalin sumbu filosofi. Mereka meyakini gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’, sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta dur Hangkara” dalam pelestarian alam yang diaplikasikan dalam beberapa tradisi budaya.
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak (Kusumosanyoto, 2009). Hamemayu hayuning wono (hutan). Wono atau hutan merupakan satu inti pokok dalam “Catchment Area” atau Daerah Aliran Sungai (DAS) (Nugroho dan Elviandri, 2018). Jika Wono rusak maka ekosistem akan ikut rusak, misal tata air permukaan/sungai, frekuensi dan durasi hujan, kelangsungan hidup ekologi dll. Menjaga kecantikan dan kelestarian DAS pada intinya adalah menjaga kelestarian hutan beserta ekosistem yang ada didalamnya.
Hamemayu hayuning manungsa (manusia), seperti diketahui bersama bahwa manusia merupakan inti roh dari alam lingkungan sekitarnya (Nugroho dan Elviandri, 2018). Jika manusia berperilaku-berbudaya buruk, maka alam akan rusak. Jika manusia hanya menggunakan nafsu “angkara murka”-nya maka yang paling pertama menderita adalah lingkungan. Kalau manusia lupa bahwa dirinya adalah bagian dari lingkungan dan merupakan pesuruh “Gusti Allah” yang harus menjadi aktor pemelihara dan mengelola alam sekitar ini, maka alam inipun akan rusak oleh ulah manusia itu sendiri (Nugroho dan Elviandri, 2018).
Filosofi ini diterapkan masyarakat Gunung Merapi yang juga memiliki sikap kosmologis yang kuat, yakni adanya ikatan yang besar antara manusia dan Gunung Merapi. Manusia selalu tunduk dan dikuasai oleh Gunung Merapi, hal ini bisa dilihat betapa masyarakat di lereng Gunung Merapi tidak berani menebang pohon seenaknya, berburu binatang di hutan, memindahkan batu-batu besar di tempat-tempat tertentu, mendirikan rumah menghadap ke arah Gunung Merapi, apalagi punya keberanian untuk membakar hutan (Minsarwati, 2002).
Menurut tinjauan Suwito (2005 dalam Gunawan, 2015), upacara adat masyarakat Yogyakarta mempunyai 3 (tiga) fungsi: (1) Fungsi Spiritual, upacara adat memberikan petunjuk atau gambaran hubungan manusia dengan Tuhan (Hablun minallah). Pada fungsi spiritual ini kepentingan rohani manusia akan terpenuhi; (2) Fungsi Sosial, upacara adat melibatkan individu-individu warga masyarakat (Hablun minannas) yang mempunyai kepentingan sama, yang dilandasi oleh kepercayaan dan keyakinan yang sama pula, sehingga dapat menciptakan kerukunan sosial dan membawa dampak terwujudnya ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan hidup; (3) Fungsi Pelestarian Lingkungan Fisik/Alam. Dibalik konsepsi keyakinan yang tertuang dalam mitos-mitos dan upacara adat yang dianggap sakral dan keramat tersebut terkandung kearifan lokal yang dapat berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap pengelolaan lingkungan yang cukup efektif, sehingga masyarakat sendiri yang akan memperoleh manfaat ekologis yang cukup besar.
Yogyakarta, 1 Maret 2022
ttd
Arif Sulfiantono, M.Agr., M.S.I.
Pendamping Desa Mandiri Budaya DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar