Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu kawasan yang terdampak perubahan iklim ekstrim. Kabupaten Gunungkidul merupakan contohnya, kekeringan berkepanjangan terjadi setiap tahun. Dampak perubahan iklim ini membawa dampak yang signifikan pada masyarakat DIY, seperti ketersediaan makanan yang cukup dan bergizi, tempat tinggal yang aman, dan air minum yang aman untuk dikonsumsi.
Kelompok rentan termasuk perempuan, anak-anak, orang tua, penyandang disabilitas, rumah tangga miskin, dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana serta daerah yang rentan terkena dampak perubahan iklim, sangat berisiko mengalami kondisi kesehatan yang merugikan, sebagai akibat dari perubahan iklim (WHO, 2021).
Opini koran 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 15 September 2021
Sebenarnya sejak Indonesia menandatangani Perjanjian Paris pada 2016, inisiatif-inisiatif adaptasi perubahan iklim telah dikembangkan dengan fokus khusus untuk memastikan perlindungan dan pemberdayaan kelompok rentan yang kerap terkena dampak perubahan iklim secara tidak proporsional. Untuk itu sejumlah substansi terkait dengan perubahan iklim, termasuk penguatan aksi mitigasi dan adaptasi untuk kelompok rentan dan pada tingkat tapak/lokal perlu disiapkan menjelang konferensi negara-negara PBB untuk perubahan iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, November mendatang.
Hal ini bertujuan untuk membangun ketahanan iklim di tingkat tapak yang secara kumulatif bisa menjelma sebagai ketahanan nasional. Bapak Rohmad Ahmadi, Lurah Desa Kebonharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo dalam paparannya di diskusi Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) DIY menjelaskan peta bencana Desa Kebonharjo yang selalu update, karena wilayahnya merupakan kawasan rawan bencana longsor (11/9).
Beliau juga menjelaskan prinsip pembangunan desa berkelanjutan yang berbasis pada 3 hal yakni; Air, Tanah, dan Pohon Tanaman. Air dijabarkan dengan melakukan penanaman pohon besar jenis konservasi air, seperti jenis Gayam, Aren, dan Asem. Tanah berarti dalam pengelolaan desa berdasarkan Zonasi; yakni pertanian, kebun, hutan, irigasi, drainase saluran.
Sedangkan pohon tanaman adalah menanam jenis pencegah longsor dengan terasering. Ground cover atau tutupan tanah ditanami dengan jenis empon-empon dan pakan ternak yang memberikan manfaat langsung pada warga. Semua ini merupakan wujud dari strategi pembangunan desa berbasis kebudayaan.
Kelompok rentan juga tidak luput dalam bahasan diskusi dalam refleksi. Kelompok inklusif atau difabel selama ini kurang mendapat perhatian dalam aksi adaptasi dan mitigasi bencana alam akibat perubahan iklim. Contoh adalah belum adanya alarm atau tanda petunjuk yang dipahami oleh kelompok inklusif saat melakukan evakuasi. Jalur evakuasi yang ramah difabel juga masih terabaikan.
Penyandang disabilitas juga masih kesulitan dalam mengakses sumber-sumber air bersih, terutama di wilayah Kabupaten Gunung Kidul yang menjadi langganan bencana alam kekeringan. Demikian pula dengan perempuan sebagai pengelola rumah tangga juga merasakan dampak dari kekurangan air bersih.
Perubahan iklim juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu sehingga petani tidak memiliki kepastian untuk bertanam dan menyebabkan gagal panen. Kekeringan ekstrem juga menambah pengeluaran untuk membeli air bersih sehingga mengurangi kebutuhan pokok lainnya. Selain itu juga ditambah kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam mencari sumber pendapatan di luar sektor pertanian.
Pendampingan dalam pemberdayaan masyarakat untuk aksi perubahan iklim diawali dengan penguatan kapasitas pengetahuan kebencanaan hingga ketrampilan bertahan hidup. Beberapa komunitas memberikan pelatihan dan pendampingan yang terkait sektor pangan dan pertanian. Contohnya adalah penyimpanan benih padi yang aman dalam jangka waktu yang lama; pembuatan pakan ternak dari daun Jati yang selama ini tidak dimanfaatkan masyarakat Gunung Kidul; dan lain-lain.
Penanganan perubahan iklim dalam tingkat tapak/lokal diperlukan pendekatan kebudayaan yang memang melekat pada rasa, karsa dan karya masyarakat. Contohnya kegiatan Merti Bumi yang ada di hampir semua desa dikaitkan dengan kegiatan pelestarian alam melalui kegiatan penanaman dan perlindungan sumber air seperti yang dilakukan oleh Desa Kebonharjo.
Dampak perubahan iklim nyata terjadi di tingkat tapak (desa dan kampung) dan dirasakan oleh masyarakat langsung. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah harus memperhatikan ekologi lokal di tingkat tapak serta sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Semua sektor, -pemerintah, akademisi, dunia usaha, LSM, media, masyarakat, dll- harus bersatu padu melakukan aksi perubahan iklim.
Apalagi besok tanggal 16 September yang merupakan Hari Pelestarian LapisanOzon Sedunia. Peran kecil kita di tingkat tapak dapat membawa pengaruh perubahan iklim bumi tempat kita tinggal.
Yogyakarta, 14 September 2021
Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia Region Jawa & Narasumber Refleksi PRBBK #5 DIY.