Tanggal 10 Agustus adalah Hari Konservasi Alam Nasional yang diperingati tiap tahun sejak 2009 sebagai salah satu agenda besar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Untuk tahun 2021 ini telah keluar SK Menteri LHK RI Nomor: 176/MENLHK/KSDAE/KSA.3/4/2021 tanggal 23 April 2021 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2021.
HKAN ke-31 ini mengangkat tema ‘Bhavana Satya Alam Budaya Nusantara’ yang bermakna ‘Memupuk Kecintaan Pada Alam dan Budaya Nusantara’. HKAN dilaksanakan di Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang dan Pantai Lasiana Kota Kupang, NTT pada 10 Agustus 2021, rencananya akan dihadiri oleh Presiden RI Joko Widodo bersama sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju.
Tema HKAN tahun ini mirip dengan tema HKAN tahun 2018, yakni ‘Harmonisasi Alam dan Budaya’. Di saat pandemi Covid 19 ini akan lebih baik tema yang diangkat adalah solusi riil dan praktis masyarakat untuk keluar dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid. Hubungan ekonomi dan konservasi di masyarakat desa yang masih menggantungkan hidupnya pada alam sangat berkaitan erat.
Contoh riil adalah kasus pengamanan puluhan ekor burung berkicau dari tangan 2 orang penangkap burung di hutan lereng Gunung Arjuna oleh tim gabungan dari Pro Fauna Indonesia dan Tahura R Soerjo pada tanggal 1 Juli 2021 (Pro Fauna Indonesia, 2021). Kasus seperti ini cukup sering terjadi di kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan Suaka Margasatwa, dan alasan utama pelaku adalah faktor ekonomi.
Selain kasus pencurian burung di hutan negara juga ada pengambilan kayu, baik dijual secara gelondongan maupun dijadikan kayu bakar atau arang. Sungguh ironis, kasus ini terjadi saat pandemi dan petugas penjaga hutan Negara (kawasan konservasi) sedang WFH (Work From Home).
Saat bencana pandemi harusnya Negara hadir agar permasalahan ekonomi rakyat yang hidup berdampingan dengan kawasan konservasi juga teratasi. Kawasan konservasi merupakan kawasan yang bertujuan untuk melindungi habitat dan tempat hidup berbagai jenis makhluk hidup dari kerusakan.
Tentunya, di sekitar kawasan tersebut terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang bermukim. Maka dari itu, diperlukan pemberdayaan masyarakat untuk memberikan pengetahuan tentang pelestarian kawasan konservasi dan kemandirian masyarakat. Ada 4.500 desa di sekitar kawasan konservasi, tentu ada yang terdampak ekonomi akibat pandemi Covid.
Konservasi di era pandemik harusnya memperhatikan tiga hal yakni: pandemik itu sendiri, bencana hidrometereologi dan teknologi digital (Susilo, 2021). Penanganan bencana pandemi juga harus memperhatikan dampak ekonomi. Masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi akan cenderung mengambil dari hutan untuk mencukupi kebutuhan pokoknya.
Jika ini dibiarkan akan terjadi kerusakan hutan yang berdampak pada bencana hidrometereologi. Disini tidak hanya berhenti pada masyarakat atau desa tangguh bencana. Teknologi digital harus menjadi salah satu solusi. Pemberdayaan masyarakat di desa konservasi atau desa penyangga kawasan konservasi harus menyentuh pada dunia digital.
Negara dalam hal ini diwakili oleh KLHK di tingkat tapak turun tangan ikut menangani produk pertanian desa penyangga kawasan konservasi. Salah satu contohnya adalah akibat pandemi kelompok petani di desa penyangga Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mengalami kesulitan dalam pemasaran produk pertaniannya seperti madu, kopi, dan lain-lain.
Permasalahan ini dapat teratasi dengan adanya pemasaran melalui teknologi digital. Kalau perlu KLHK membuat suatu platform aplikasi pasar digital produk dari desa penyangga kawasan konservasi. Produk herbal seperti jamu dan madu dari desa penyangga selama pandemi adalah salah satu contoh yang cukup laku di pasar digital.
Sebenarnya budaya
yang terkait dalam HKAN adalah budaya ‘srawung’ atau silaturahmi untuk
menanyakan kabar seseorang. Petugas penjaga hutan selama pandemi harus lebih intens
untuk srawung ke masyarakat, agar dapat menggali permasalahan yang ada
di desa penyangga kawasan konservasi. Data hasil srawung kemudian diolah untuk
dicari solusinya secara bersama-sama. Warga-pun akan pekewuh atau segan
melakukan pencurian di hutan jika sudah akrab dengan petugas. Allaahu ‘alam.
Yogyakarta, 8 Agustus 2021
Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia Region Jawa & pegiat ekowisata desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar