Puncak krisis iklim ternyata akan tiba 15
tahun lagi. Lebih cepat dari prediksi para ahli yang diperkirakan terjadi di
tahun 2050 atau 2100. Menurut rekaman Laboratorium Penelitian Sistem Bumi
(ESRL-NOAA) di Hawai, pada 21 Maret 2021 konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
mencapai rekor baru sebesar 417,72 part per million (The Guardian, 2/4).
Ini
adalah angka tertinggi jumlah konsentrasi gas rumah kaca sejak Revolusi Industri
tahun 1850. Meskipun krisis iklim disebabkan oleh banyak faktor, ada beberapa
yang membutuhkan perhatian lebih dari yang lain. Ada 10 masalah lingkungan dan
perubahan iklim di dunia.
Sepertiga
makanan
yang dikonsumsi manusia di dunia, yakni sekitar 1,3 miliar ton
terbuang atau hilang. Jumlah ini cukup untuk memberi
makan 3 miliar orang. Limbah dan kerugian makanan menyumbang 4,4 giga ton emisi gas rumah kaca
setiap tahun.
Pada tahun 1950, dunia memproduksi lebih dari 2 juta
ton plastik per tahun. Pada 2015, produksi membengkak menjadi 419 juta ton. Laporan jurnal Nature menyebutkan sekitar
11 juta ton sampah plastik masuk ke lautan setiap tahun, merusak habitat satwa
liar yang hidup di dalamnya.
Para
ahli menyebutkan bahwa 91% dari semua plastik yang pernah dibuat tidak didaur
ulang. Hal ini menyebabkan menjadi masalah lingkungan terbesar. Plastik
membutuhkan waktu 400 tahun untuk terurai, maka dibutuhkan beberapa generasi
hingga sampah plastik tersebut menyatu dengan alam.
Di dalam
negeri, sampah menempati nomor satu dalam 10 masalah besar Lingkungan di
Indonesia, yakni sebesar 40%. Berikutnya adalah masalah banjir (20%); sungai
tercemar (11%); pemanasan global (10%); pencemaran udara (6%); rusaknya
ekosistem laut (4%); sulitnya air bersih (3%); kerusakan hutan (2%); abrasi
(2%); dan pencemaran tanah (2%).
Menurut
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) jenis sampah di Indonesia terbanyak
nomor satu adalah sampah sisa makanan (30,8%);
plastik (18,5%); kayu, ranting, daun (12%); kertas (11,2%) dll. Tingkat rumah
tangga memegang porsi terbesar dalam sampah; yakn sebesar 32,4%. Berikutnya disusul
oleh pasar tradisional (21,7%); pusat perniagaan (13,9%); fasilitas publik (11%);
dll.
Penanganan
sampah di Indonesia selama ini juga masih primitif dan cenderung merusak lingkungan,
karena sebagian masih dibuang dan ditimbun di TPA (Tempat Pembuangan Akhir)
sebesar 69%. Berikutnya adalah dikubur (10%); dibuat kompos dan daur ulang
(7%); tidak terkelola (7%); dan dibakar (5%).
Semua
penanganan di atas merusak alam, kecuali dibuat kompos dan didaur ulang. Cara terakhir
penanganan sampah ini sesuai dengan tema hari Bumi pada tanggal 22 April. Tahun
ini tema hari bumi adalah adalah "Restore Our Earth" atau Pulihkan Bumi Kita.
Tema Hari Bumi tahun ini berfokus pada proses
alam, teknologi hijau yang sedang berkembang, dan pemikiran inovatif yang dapat
memulihkan ekosistem dunia. Sejak tahun 2017 warga Dusun Ngunan-unan, Desa
Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul sudah mengelola sampah organik dan non
organik secara mandiri. Sampah tidak dibuang ke TPA. Sampah organik berupa sisa
makanan, sampah pepohonan, dll diolah menjadi kompos dan POC (pupuk cair). Semua
hasilnya dimanfaatkan oleh warga untuk berkebun di lahan pekarangan rumah
maupun pertaniannya. Bahkan juga diterapkan di sektor perikanan.
Selain itu warga Ngunan-unan juga sudah mulai mengolah sampah keramik dan sampah plastik untuk didaur ulang. Walaupun belum lama berjalan tapi Dusun Ngunan-unan sudah mulai ramai dikunjungi warga luar bahkan mahasiswa untuk belajar pengelolaan sampah secara mandiri. Belajar agar Bumi tidak menjadi Planet Sampah.
Semangat warga Ngunan-unan ini sesuai inti tema hari Bumi tahun ini. "Memulihkan Bumi kita bukan hanya karena kita peduli dengan alam,
tetapi karena kita hidup diatasnya. Kita semua membutuhkan Bumi yang sehat
untuk mendukung pekerjaan, mata pencaharian, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan kebahagiaan kita.
Planet yang sehat bukanlah pilihan; tapi adalah kebutuhan," demikian ditulis dari laman earthday.
Yogyakarta, 19 April 2021
Ttd
Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia
Region Jawa & pegiat Ecotourism
Tidak ada komentar:
Posting Komentar