Infeksi virus korona covid-19 membuat
dunia menghadapi dilema. Di satu sisi virus yang membuat pandemi global ini
memicu pengurangan emisi karbon akibat kebijakan karantina wilayah di banyak
negara untuk mencegah penyebarannya, di sisi lain membuat ekonomi mandek.
Dampaknya perburuan satwa liar marak kembali, terutama burung.
ANALISIS KR, koran Kedaulatan Rakyat hari Kamis, tanggal 9 Juli 2020
Grup wasap Animal Keeper Jogja (AKJ) pekan
lalu ramai dengan pemberitaan pemburu burung yang marak di desa-desa, bahkan
kawasan hutan Negara seperti Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Petugas
Resort Cangkringan TNGM bersama masyarakat mitra polhut (MMP) dalam 2 pekan
terakhir menangkap 3 orang pemburu (Info Merapi, 3/7).
Pemburu tersebut memanfaatkan kondisi saat
wisata TNGM lockdown, saat sepi dari
pengunjung wisata. Sepinya aktivitas seperti wisata jeep mengakibatkan hutan ramai dengan aktivitras satwa liar,
terutama burung. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemburu untuk memikat burung
dengan pulut dan jaring.
Kawasan Resort Cangkringan sendiri adalah
mayoritas zona rehabilitasi dan restorasi, yakni zona pemulihan dari erupsi
Merapi tahun 2010. Pemulihan ekosistem tidak hanya dengan penanaman pohon
endemik Merapi, tapi juga ditunjang dengan aktivitas satwa liar. Terutama satwa
burung yang sangat membantu dalam pemulihan ekosistem.
Hal lain yang dikhawatirkan adalah
penularan penyakit dari satwa liar kepada manusia, atau yang disebut zoonosis. Burung yang sakit akan memudahkan penularan virus karena mereka
bermigrasi ketika berkembang biak atau mencari pakan. Burung juga akan
berinteraksi dengan kelelawar, satwa yang
memiliki kemampuan sebagai sarang virus paling banyak dibanding
satwa lain.
Larangan perburuan satwa liar sudah diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Terhadap Perlindungan Satwa. Pemerintah Daerah Provinsi DIY juga
telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian
Habitat Alami.
Dalam Pasal 8 kawasan Gunung Merapi masuk dalam habitat
alami kawasan ekosistem vulkan. Demikian pula dengan kawasan ekosistem lain,
seperti karst, dataran tinggi, dataran rendah, pantai berbatu dan/atau
berpasir, perairan tawar, mangrove, dan gumuk pasir. Pemerintah Daerah,
Pemerintah Kabupaten Kota, dan Pemerintah Desa berkewajiban atas pelestarian
Habitat Alami; dan dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah, dan
berkelanjutan (Pasal 22).
Pelestarian Habitat Alami dilaksanakan secara terkoordinasi
melalui upaya konservasi dan rehabilitasi (Pasar 24). Larangan perusakan
habitat alami disebutkan dalam pasal 46, yakni menangkap dan/atau membunuh
satwa yang dilestarikan di dalam Habitat Alami. Disini diperlukan peran aktif
masyarakat dalam menjaga habitat alami.
Salah satu peran aktif masyarakat adalah dengan adanya
aturan yang tegas melarang, seperti Peraturan Desa (Perdes). Peraturan Daerah
(Perda) yang ada diperkuat dengan Perdes agar masyarakat dapat ikut mengawal
kelestarian ekosistem di desanya. Kesuksesan pelaksanaan Perdes larangan
berburu dicontohkan oleh Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo.
Desa yang terletak di pegunungan Menoreh ini membuat sebuah
peraturan untuk menjaga lingkungan, yakni Perdes No.8 Tahun 2014 tentang
Pelestarian Lingkungan Hidup. Perdes ini mengatur langkah-langkah desa dalam
pelestarian tumbuhan dan satwa liar di Desa Jatimulyo. Salah satu bagiannya
adalah mengatur pelestarian burung.
Bagi pemburu burung yang tertangkap di Desa Jatimulyo akan
dikenakan denda minimal Rp 5 juta. Perdes ini berhasil mengendalikan para
pemburu burung, yang dulu jumlahnya banyak seperti orang mancing. Tahun 2020
ini jumlah burung di Desa Jatimulyo ada 105 jenis, dengan 19 jenis merupakan
burung endemik (Suparno, 2020). Pengamatan burung menjadi wisata andalan di
Desa Wisata Jatimulyo ini.
Kesuksesan Desa Jatimulyo diikuti oleh Desa Pagerharjo,
Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo yang mengeluarkan Perdes Nomor 4 tahun 2017
tentang Pelestarian Lingkugan Hidup. Pemerintah Desa Pagerharjo memasang papan
larangan berburu/memikat burung di beberapa tempat termasuk dengan sanksi dan
denda.
Sudah saatnya Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa
bersama masyarakat menyiapkan kondisi “normal baru” setelah pandemi. Kondisi
tersebut adalah membangun sistem penopang kehidupan dengan rambu-rambu
pembangunan lingkungan dengan memakai prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Urusan pelestarian alam dan kearifan lokal semestinya tak sekadar tema
peringatan Hari Lingkungan Hidup, Bumi atau Konservasi, namun menjadi komitmen
kita bersama dalam pemulihan pandemi dan setelahnya.
Yogyakarta, 6 Juli 2020 pukul 09.07 WIB
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan
Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom
Desa-Kampung Wisata DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar