Paska peristiwa susur sungai yang membawa korban 10 orang meninggal, Forum Komunikasi Desa Wisata Kabupaten Sleman mengeluarkan press release bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara mandiri, tanpa koordinasi ataupun diketahui pengelola desa wisata (deswita) setempat.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 27 Februari 2020
Walaupun sudah ada press release, ditengarai desa wisata setempat akan mendapat dampak dari kejadian kecelakaan sungai tersebut, berupa penurunan jumlah wisatawan. Diakui perkembangan desa wisata saat ini marak, terutama dengan mengangkat potensi wisata alam. Karateristik wisata alam memiliki keunggulan dibandingkan wisata lain.
Wisata alam tidak dapat melalui perantara untuk pengunjungnya, oleh karenanya untuk menikmati wisata alam pengunjung harus datang langsung ke lokasi. Nuansa alam dengan udara yang masih segar dengan berbagai spot selfie menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Namun begitu wisata alam juga harus mampu menghadirkan ketangguhan dalam pengelolaannya (Suparlan, 2019).
Pengelolaan pariwisata khususnya wisata alam harus mampu mengidentifikasi dampak dari 12 jenis ancaman bencana di wilayah DIY, yakni Banjir, Banjir Bandang, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Kekeringan, Cuaca Ekstrim, Kebakaran Hutan dan Lahan, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gelombang Pasang, Kegagalan Teknologi, Epidemi dan Wabah Penyakit (BPBD DIY, 2019). Ancaman bencana yang ada telah nyata memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan industri pariwisata yang ada.
Contohnya adalah bencana badai cempaka karena cuaca ekstrim pada akhir 2017 lalu menyebabkan banjir sungai Oya Gunungkidul, lokasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi sejarah banjir. Dampak ini kemudian menyebabkan kerusakan di sejumlah obyek wisata seperti Air Terjun Sri Getuk dengan kerugian diperkirakan mencapai 500 juta (Suparlan, 2019).
Imbas gempa bumi di Lombok menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya berdampak pada kunjungan wisatawan mancanegara, dan negara berpotensi kehilangan Rp1,4 triliun (Fahrurozy, 2018). Padahal, sebelumnya, Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan Wisman sebanyak 17 Juta Wisman pada 2018.
Dalam sebuah penelitian, Prideaux dan Laws mendefinisikan krisis dalam industri pariwisata sebagai segala peristiwa yang mengganggu dan menghambat jalannya industri pariwisata (Fahrurozy, 2018). Integrasi pengelolaan pariwisata terutama di desa wisata dengan konsep pengurangan risiko bencana sangat diperlukan mengingat perkembangan industri pariwisata alam yang sangat rentan terhadap 12 jenis ancaman bencana yang ada.
Gerakan membangun pengelolaan pariwisata berperspektif pengurangan risiko bencana sebenarnya telah di-inisiasi oleh beberapa desa wisata di propinsi DIY. Krisis akibat bencana alam atau kecelakaan, baik yang dapat diprediksi maupun tidak, dapat menggoyang fondasi kegiatan pariwisata, menghambat sebuah daerah dalam membangun sektor pariwisatanya.
Pelajaran dari krisis di masa lalu, dapat dijadikan acuan membangun fondasi manajemen krisis yang lebih baik (Fahrurozy, 2018). Pendekatan holistik untuk mengelola krisis pada destinasi pariwisata harus hadir sebagai prasyarat agar kegiatan ekonomi pariwisata terus berlangsung.
Dalam pengelolaan Desa Wisata harus memiliki prespektif Pengurangan Risiko Bencana agar memberikan keamanan, kenyamanan dan keberlanjutan bagi pengelola dan pengunjung. Oleh karena itu, pengetahuan dan ketrampilan pengelola desa wisata harus terus menerus ditingkatkan, sehingga terwujud Deswita Tangguh Bencana.
Yogyakarta, 24 Februari 2020