Akhir-akhir ini di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dan wilayah lain resah karena adanya serangan ular. Belasan
ular kobra memasuki pemukiman warga di wilayah Gunung Kidul, bahkan meneror
seisi rumah dengan memasuki kamar bayi, hingga pemilik rumah memilih mengungsi.
Berita terbaru adalah ular hijau Trimeresurus
albolabris yang menyerang relawan Seyegan Rescue (KR, 16/12).
Ada hampir 3000 jenis ular di
Dunia, sepuluh persennya ada di Indonesia yakni, 348 jenis ular. Dan 76 jenis
diantaranya adalah ular berbisa. Sebenarnya ini merupakan kekayaan hayati yang
luar biasa. Sungguh sayang potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal.
Analisis Koran Kedaulatan Rakyat 17 Desember 2019, halaman depan/head line
Salah satu contohnya adalah
serum anti bisa ular atau yang disebut SABU hanya tersedia untuk gigitan dari 3
jenis ular berbisa, yakni Ular Kobra (Naja
sputatrix), Ular Weling/Welang (Bungarus
candidus/Bungarus fasciatus), dan Ular Tanah (Calloselasma/Agkistrodon rhodostoma). Masih kurang 73 jenis ular
lagi. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki satu orang dokter ahli bisa
ular, yakni DR. dr Tri Maharani, M.Si, SpEM.
Menurut Maharani (2019) setiap
tahun dilaporkan ada sekitar 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh
Indonesia. Meski belum ada angka yang pasti, jumlah korban gigitan ular di
Indonesia diperkiraan jumlahnya sekitar 135.000 orang per tahun, merujuk jumlah
penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa.
Jumlah tersebut dapat lebih
besar lagi, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Untuk wilayah DIY
sendiri menurut Ketua relawan Animal
Keeper Jogja (AKJ) ‘Saliyo’ tahun 2019 ada 18 kasus korban gigitan ular
berbisa. 2 diantaranya meninggal dunia, yang disebabkan karena belum tahunya
tentang penanganan gigitan ular.
Penanganan pertama gigitan ular
(first aid) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) adalah
dengan imobilisasi atau membuat
bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak (Maharani, 2018). Banyak
Rumah Sakit, Puskesmas hingga komunitas reptil telah memperoleh pelatihan
penanganan gigitan ular.
Untuk wilayah DIY sendiri tiap
korban gigitan ular akan dipandu penanganannya oleh relawan AKJ sampai sembuh.
Jika korban sudah mengalami fase sistemik seperti sesak nafas hingga gagal
jantung baru diberika serum atau anti bisa ular. Untuk Rumah Sakit rujukan
korban gigitan ular berbisa di wilayah DIY ada di RS Wirosaban Kota Yogya, RS
Panembahan Senopati Bantul, PKU Gamping, PKU Bantul, dan Bethesda (Saliyo,
2019).
Dalam menangani ular, perlu
mengenal karakteristik hidup satwa melata ini. Mayoritas ular menetas pada awal
musim hujan, dan ular menyukai lokasi yang lembab dan hangat. Beberapa anak
ular kobra yang ditemukan warga di Godean, Sleman dan Wonosari, Gunung Kidul
adalah salah satu contohnya. Apalagi jika sarangnya terendam air akibat hujan,
ular akan keluar mencari lokasi nyaman.
Kebersihan rumah dan lingkungan
perlu dijaga. Jangan ada tumpukan kain, kardus, daun yang menyebabkan kondisi
lembab. Rumah harus dibersihkan dengan pewangi, karena ular menghindari bau
wangi. Pemberian garam tidak berpengaruh, tidak membuat ular takut atau
menghindar.
Selain itu perlu diperhatikan
juga penyebab adanya ular yang masuk pemukiman warga. Hilangnya predator ular
seperti Musang, Kucing hutan, burung Elang, burung Hantu dan satwa liar lain
turut meningkatkan jumlah populasi ular. Keseimbangan ekologi terganggu akan
menyebabkan komponen lain terganggu sehingga dapat menyebabkan bencana ekologi.
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah edukasi kepada masyarakat dalam penanganan ular berbisa. Aksi free handling atau penanganan ular
berbisa tanpa alat bantu harus dihindari. Apalagi jika dilakukan oleh orang
awam. Lebih baik mengundang pawang ular atau ahli penangkap ular.
Untuk jangka panjang perlu
diperhatikan keseimbangan ekologi di alam yang mulai terganggu oleh pembangunan
dan pertumbuhan penduduk. Kasus serangan tawon (Vespa affinis) dan disusul ular merupakan contoh dari keseimbangan
ekologi yang terganggu. Pemerintah harus memperhatikan manfaat dan peran
ekologi, tidak hanya kepentingan ekonomi saja. Pembangunan hijau sudah harus
diseriusi oleh pemerintah demi manfaat jangka panjang.
Yogyakarta,
16 Desember 2019
Ttd
Arif
Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim &
Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, anggota relawan AKJ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar