Sudah lebih dari sebulan ini beberapa sumur warga Yogyakarta asat atau kering, karena musim kemarau yang panjang. Pakar Hidrologi UGM, Setyawan Purnama, mengatakan telah lama akademisi hidrologi mengingatkan kepada pemerintah, swasta, dan masyarakat bahwa ada ancaman nyata krisis air di DIY (Kumparan, 16/10). Penyebabnya, tak lain karena penurunan muka air tanah, terutama di Kota Yogya dan Kabupaten Sleman rata-rata 30 sentimeter per tahun.
Analisis koran Kedaulatan Rakyat, 16 November 2019 halaman depan
Jumlah penduduk terus naik, pemukiman bertambah, jumlah hotel meningkat menjadikan penyedotan air tanah makin tinggi sekaligus mengurangi daerah resapan. Saat musim hujan datang dan curah hujan tinggi, namun daerah resapan air minim, maka air akan langsung mengalir ke sungai-sungai besar. Eksploitasi air tanah yang tidak diimbangi dengan resapan hasilnya mengakibatkan permukaan air tanah terus turun.
Sejatinya menilik sejarah kota Yogyakarta adalah daerah tangkapan air (water catchment area). Kota Yogyakarta awalnya adalah kawasan rawa yang bernama Umbul Pacethokan dan hutan Beringin. Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I kemudian melakukan babat alas dan mendirikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang menjadi pusat kota Yogyakarta. Demikian pula letak kota Yogyakarta yang diapit 2 sungai besar yakni Sungai Code dan Winongo.
Inilah kejeniusan Sultan HB I sebagai arsitek kota dengan memilih pusat pemerintahan pada area yang aman dari krisis air. Tingkat perkembangan wilayah yang cukup pesat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Wilayah telah berkembang secara ekonomi namun mundur secara ekologis. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat telah memicu terjadinya krisis lingkungan, utamanya krisis air.
Menjadi sebuah ironi, daerah yang seharusnya makmur air, namun tejadi bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Padahal sejatinya air hujan merupakan sumber daya karunia Allah SWT. Sudah saatnya memposisikan air hujan agar kembali pada fungsi asalnya sebagai sumber karunia.
Saat musim hujan aman dari banjir dan kemarau air tetap memadai. Berdasarkan hitungan ahli hidrologi UGM, Agus Maryono, dengan hujan rata-rata di Pulau Jawa sebesar 3000 mm/tahun, kebutuhan air penduduk Jawa adalah 5,1 milyar m3/tahun atau setara dengan 1,3% volume air hujan (Maryono, 2019). Persentase yang sangat kecil dari karunia hujan.
Oleh karena itu, untuk menjaga ketersediaan dan kualitas air tanah dari air hujan dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembuatan biopori, sumur peresapan air hujan, hingga memanen air hujan. Cara terakhir ini merupakan cara paling efektif dengan hasil yang cukup besar. Pemanenan air hujan adalah metode dan teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap bangunan, permukaan tanah, jalan atau perbukitan dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber suplai air bersih (UNEP, 2001; Abdullah dkk 2009).
Memanen air hujan merupakan alternatif sumber air yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad di berbagai negara. Maryono dan Santoso (2006) menyebutkan bahwa di dunia internasional saat ini upaya memanen hujan telah menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.
Salah satu teknik pemanenan air hujan yang cocok diterapkan daerah perkotaan adalah dengan metode atap bangunan (roof top rain water harvesting). Teknik ini untuk skala individu bangunan rumah dalam suatu wilayah. Perhitungan dari dosen UGM Agus Maryono bahwa setiap 100 m2 luas atap rumah akan menghasilkan 3,25 m3 air bersih sekali hujan (Maryono, 2019). Atap rumah disini dapat dimanfaatkan sebagai sumber air yang setiap satu kali hujan dapat mencukupi kebutuhan air sekeluarga selama satu minggu.
Salah satu kecamatan di kota Yogyakarta yang telah menerapkan metode pemananen air hujan adalah Kecamatan Tegalrejo. Di kantor Kecamatan Tegalrejo telah terpasang unit alat pemananen air hujan, setelah sebelumnya juga membuat biopori jumbo untuk penangkapan air hujan. Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Sub Direktorat Pengendalian Kerusakan Sungai, kecamatan Tegalrejo siap launching menjadi Kampung Ramah Air Hujan.
Melalui predikat tersebut, Camat Tegalrejo akan tampil dalam Kongres Memanen Air Hujan Indonesia II di UGM pada tanggal 28-29 November 2019. Melalui kampung ramah air hujan ini diharapkan wilayah lain dapat mengimplementasikan sehingga dapat mengembalikan kota Yogyakarta sebagai daerah tangkapan air. Seperti saat HB I mendirikan kraton Ngayogyakarta, melalui menabung air.
Yogyakarta, 13 November 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus