Sampai tanggal 6 September 2019 data kejadian kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejumlah
1.233 titik panas. Total sebanyak 9.072 personel dengan 37 heli dikerahkan untuk
pemadaman titik api yang ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (BNPNB,
2019). Bahkan hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Taman
Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) tahun ini tidak lupat dari kebakaran hutan.
Analisis KR hari Sabtu, 14 September 2019
Kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru. Sejak
beberapa dekade sangat sering terjadi karhutla, salah satunya hutan yang berada
di lahan gambut. Tahun 2015 merupakan periode terburuk karhutla di Indonesia, kurang
lebih 2.6 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Para ahli mengungkapkan jika
penyebab kebakaran hutan dan lahan karena faktor alam dan kesalahan manusia.
Faktor
alam diwakili oleh kondisi cuaca yang turut melatabelakangi karhuta, karena
tahun 2015 merupakan fase cuaca kering dampak dari El-Nino. Untuk faktor manusia
berupa kelalaian manusia, baik secara individu ataupun disengaja. Dampak karhutla,
khususnya di lahan gambut mengakibatkan peningkatan suhu.
Peningkatan
suhu, pada dasarnya diakibatkan oleh gas efek rumah kaca yang membuat lapisan
ozon rusak. Gas rumah kaca ini diakibatkan oleh berkurangnya kawasan hutan,
serta masifnya eksploitasi alam. Peningkatan suhu di bumi salah satu implikasi
logisnya ialah mengakibatkan perubahan iklim (climate change)
(Setyawan, 2019). Menurut riset NASA (The National Aeronautics and Space
Administration) maupun NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration)
yang merupakan badan independen pemerintah Amerika Serikat, mengatakan jika ada
tren kenaikan suhu sejak tahun 2010 sebesar 1 derajat celcius.
Hal
tersebut juga sama dengan hasil riset dari IPCC (Intergovernmental Panel on
Climate Change) yang menyatakan sejak era revolusi industri pertama hingga
saat ini, telah terjadi peningkatan suhu sebesar 1-1.5 derajat celcius
(Setyawan, 2019). Hal inilah yang mengilhami beberapa negara-negara yang
tergabung di IPCC untuk sepakat menjaga suhu di bumi dengan berbagai pendekatan,
salah satunya melawan deforestasi dan menerapkan aturan ketat terhadap korporasi.
Bahkan untuuk mempercepat upaya aksi iklim di wilayah Asia pada tanggal 3-4
September 2019 telah dibentuk Asian Climate Experts (ACE). Kegiatan yang
diselenggarakan oleh UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate
Change) di Bangkok, Thailand ini dihadiri oleh Ahli Perubahan Iklim dan
Kehutanan Indonesia (APIKI) mewakili negara Indonesia.
Menurut Peneliti Lingkungan Potensi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) -Eko Cahyono- karhutla sangat mempengaruhi perubahan
iklim (2016). Saat terjadi pembakaran biomassa berupa karhutla, maka
dihasilkanlah karbon monoksida (CO) yang menjadi pembentuk ozon. Tingkat ozon
yang tinggi di atmosfer lapisan atas, yakni stratosfer memang baik. Ozon di
lapisan itu akan melindungi makhluk bumi dari radiasi tinggi sinar matahari.
Namun, jika terjadi di atmosfer lapisan bawah, dampaknya ialah
sebaliknya. Konsentrasi ozon di permukaan seharusnya rendah, tidak melebihi 100
ppbv (part per billion volume). Jika lebih dari batas, akan membahayakan
kesehatan manusia (Cahyono, 2016). Sirkulasi angin juga akan memengaruhi
tersebarnya ozon hingga mencapai bagian troposfer atas. Jika demikian, akan
membentuk gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim.
Perubahan iklim lebih besar disebabkan oleh aerosol yang terlepas ke
udara akibat kebakaran biomassa. Radiasi matahari sulit masuk ke bumi,
penguapan air menjadi rendah, akibatnya tidak terjadi hujan (Cahyono, 2016). Mengingat
pentingnya fungsi laposan ozon ini pada tanggal 16 September 1987, lahirlah
kesepakatan Protokol Montreal, yang kemudian ditetapkan oleh PBB sebagai Hari
Ozon Internasional.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi
Wina melalui Keppres No 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan
Protokol Montreal. Ini upaya Indonesia dalam perlindungan terhadap keberadaan
lapisan ozon. Untuk mencegah perubahan iklim yang berakibat pada
penipisan lapisan ozon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
terus mengampanyekan kelestarian lingkungan melalui penghijauan kembali melalui
program penanaman kayu atau penghutanan kembali lahan-lahan yang sudah gundul.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK -Ruandha
Agung -KLHK berkomitmen untuk melakukan penanaman pohon di atas lahan 800.000
hektar per tahun (2018). Tentu dampak perubahan iklim ini bukan hanya tanggungjawab
pemerintah saja, tapi merupakan tanggungjawab kita semua selaku penghuni planet
bumi.
Lereng Tenggara Merapi,
12 September 2019, pukul 09.04 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar