Terbit di Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Nopember 2018
Hampir 2 tahun ini terjadi ledakan populasi tawon ‘ndas’ (Vespa affinis) di wilayah Klaten. Tercatat sudah 6 orang (3 anak-anak dan 3 lansia) meninggal dunia akibat ‘diserang’ tawon, korban terakhir tanggal 11 Nopember 2018. Kasus inilah yang mendasari pembentukan grup darurat tawon klaten. Walaupun sudah berjalan hampir satu tahun tapi kelompok yang terdiri dari Peneliti LIPI, dokter, pemerhati lingkungan, SAR, Pemadam Kebakaran ini belum optimal dalam penanganan serangan tawon, karena masih kurangnya dukungan Pemerintah Daerah.
Akhirnya kelompok ini bekerja swadaya semaksimal kemampuannya, terutama sosialisasi langsung ke masyarakat dan media massa. Salah satunya adalah pengetahuan masyarakat yang masih kurang tentang dunia serangga. Kasus di Nglanggeran ini ‘pelakunya’ menurut dugaan ahli serangga adalah tawon ndas (Vespa affinis), sama dengan kasus di Klaten. Walaupun lebah (Apis dorsata) yang disebutkan dalam berita KR ini juga dapat menyerang apabila terganggu.
Padahal ada perbedaan antara lebah (bee) dan tawon (wasp), yang utama adalah lebah menghasilkan madu sedangkan tawon tidak. Persamaannya adalah serangga ini menjadi agresif jika merasa terganggu. Dalam artikel medis ‘Journal of Emergency Practice and Trauma’ volum 2 tahun 2016 disebutkan bahwa korban sengatan tawon ndas (Vespa affinis) menderita gagal ginjal akibat racun sengatannya.
6 korban meninggal di Klaten juga disebabkan karena penanganan yang terlambat dan kurang tepat. Dokter Tri Maharani (ahli penanganan korban racun satwa) menganjurkan pertolongan pertama (First Aid) untuk korban sengatan tawon, yakni cabut sungutnya, perawatan luka, kompres dengan es, beri obat analgesik oral, dan corticosteroid (2018). Untuk tahap trauma perlu penanganan khusus di rumah sakit.
Sedangkan untuk penanganan peningkatan tawon juga perlu pengetahuan yang memadai. Perlu diingat serangga membawa peran besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama untuk keseimbangan ekologi. Tawon ndas Vespa affinis juga memiliki peran dalam mengendalikan hama pertanian jenis ulat pemakan daun dan serangga kecil lain. Peran lain yang sangat penting dari serangga adalah indikator dari adanya perubahan iklim dan kebersihan lingkungan.
Interaksi tawon dengan manusia ada 4 tingkat, yakni 1. Tidak terganggu/mengganggu, sehingga tercipta Rukun-Harmonis; 2. Terganggu, tapi menghindar; 3. Terganggu, menyerang karena bertahan/melindungi diri; 4. Terganggu, memiliki kemampuan melawan dan menyerang (Kahono, 2018). Selain itu juga perlu diperhatikan tentang peristiwa yang mendahuli terjadinya serangan tawon; yakni melimpahnya jumlah pakan; sedikitnya musuh alami atau kompetitior rendah; habitat bersarang asli yang berkurang sehingga mendekati pemukiman penduduk; seringnya perjumpaan dengan manusia; memyengat karena tidak sengaja (melindungi diri); dan tedesak/terpaksa karena melindungi koloninya.
Dalam pengendalian tawon perlu juga memperhatikan berikut ini; yakni Pengendalian populasi hendaknya melalui pengelolaan dengan memperhatikan prinsip ekologi; eradikasi dan pemindahan sarang/koloni; pemusnahan sarang hanya pada lokasi yang membahayakan manusia; dan keselamatan jiwa masyarakat adalah hal utama (Nugroho, 2018). Selain itu jika dilakukan penanganan sarang tawon juga perlu memperhatikan hal-hal berikut ini, yakni: 1. Tawon termasuk diurnal, yakni aktif pada siang hari; 2. Penanganan diusahakan dengan tidak membakar sarang karena akan membuat tawon agresif; 3. Memindahkan sarang tawon pada saat malam hari atau hujan, karena saat tersebut tawon tidak aktif; 4. Lebih baik memindahkan sarang tawon saat ukuran masih kecil; dan 5. Membuat tanda khusus lokasi sarang tawon yang tidak dipindahkan atau tidak dimusnahkan.
Tentu penanganan akan lebih optimal jika melibatkan semua potensi pemerintah dan masyarakat, karenan wabah tawon merupakan penanganan jangka panjang. Wabah tawon mengajarkan kembali kepada manusia agar lebih mengenal alam sekitar, serta hidup harmonis berdampingan bersamanya.
Patangpuluhan, 23 Nopember 2018 pukul 11.00WIB