Selama ini indikator pembangunan hanya memperhitungkan pembangunan
fisik dan peningkatan produktifitas serta perekonomian (PDRB, Pendapatan
Perkapita, dll). Pandangan pembangunan konvensional ini mengakibatkan degradasi
lingkungan akibat eksploitasi faktor produksi dan konsumsi yang berlebihan.
Dampaknya adalah dapat dilihat dan dirasakan secara langsung seperti banjir,
kebakaran hutan, tanah longsor dan meningkatnya suhu secara global.
Opini Koran Kedaulatan Rakyat (10/8/2018) tentang Hari Konservasi Alam Nasional 10 Agustus 2018 dengan tema 'Harmoni Budaya dan Alam: 1 Abad Konservasi Alam'
Kemajuan teknologi dalam pembangunan tersebut menyebabkan
ditinggalkannya budaya lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan. Padahal
tujuan pembangunan sendiri sejatinya adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan manusia secara lahir dan batin melalui pemanfaatan lingkungan. Faktor
inilah salah satu yang mendasari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK)
dalam mengelola Kawasan konservasi seluas 27 juta hektar dengan tidak
meninggalkan budaya lokal masyarakat.
Sejarah konservasi di Indonesia sejak lama ada
dengan ditemukannya Prasasti Talang Tuo di kerajaan Sriwijaya (686 M) yang
mengajarkan masyarakat dalam konservasi hutan, terutama keseimbangan antara
alam dan manusia dalam keberlangsungan hidupnya (Sinaga, 2017). Prasasti Malang
dalam kerajaan Majapahit (1395 M) telah memberikan pengetahuan bagaimana hutan
dan alam adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan, alam dan
manusia adalah roh dalam keberlanjutan kehidupan.
Kearifan lingkungan (local
wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat sejak zaman pra-sejarah
hingga saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam
berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari
nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat
(Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas
masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini
berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara
turun-temurun.
Dalam budaya Jawa pada pertunjukan wayang kulit digunakan replika
gunung, yakni gunungan yang dipergunakan sebagai simbol kehidupan. Sebelum
pertunjukan wayang kulit dimulai, gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, untuk melambangkan awal mula
dunia sebelum ada manusia, kecuali tetumbuhan dan binatang seperti yang
tergambar dalam gunungan (Purwadi, 2015). Kemudian gunungan ditarik ke bawah
dan berhenti tiga kali; melambangkan adanya cipta,
rasa dan karsa, yang mempunyai
arti akan ada kelahiran.
Kelahiran terjadi setelah dalang memisahkan dua gunungan di simpingan kiri dan kanan untuk
melambangkan pecahnya lapisan plasenta. Gunungan beserta isinya merupakan
lukisan kehidupan duniawi dan batiniah dimana Tuhan Yang Maha Esa menentukan
segala kegiatan di alam semesta (Purwadi, 2015). Di dalam gunungan terdapat
lukisan makhluk raksasa menjulurkan lidahnya yang merah panjang, monyet
memanjat pohon bertarung dengan satwa lainnya, burung-burung beterbangan dan
segala jenis hewan lainnya, pohon-pohon dan bunga-bungaan.
Kesemuanya itu melambangkan pohon kehidupan duniawi yang
diciptakan Tuhan. Di tengah-tengah gunungan terdapat lukisan sebuah rumah Jawa
dengan dua pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga oleh
seorang raksasa bersenjata gada. Ini melambangkan hukuman bagi orang yang
berbuat salah satu jahat. Dua pintu yang terkunci rapat dalam lukisan itu
melambangkan kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu itu
(Triyoga, 1991).
Praktek harmonisasi alam dan budaya dijalankan oleh warga Dukuh
Bangan, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, masyarakat penyangga Kawasan
konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Seni pertunjukan wayang kulit
dengan topik kelestarian alam rutin dilaksanakan warga, bahkan dilaksanakan di
dalam hutan TNGM. Selain itu juga ada hukuman atau sanksi sosial/adat bagi
perusak alam.
Pernah ada seorang pemburu burung liar yang tertangkap warga
dikenakan hukuman adat, yakni makan ulat yang ada di kebun warga. Bagi warga
Dukuh Bangan keberadaan burung liar sangat penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem. Perannya dalam mengendalikan hama tanaman pertanian atau perkebunan
sangat dirasakan oleh warga. Kearifan masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur
yang diwariskan oleh nenek moyang ini mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai konsep Sustainable Development Goals (SDGs).
Kantor Balai Taman Nasional Gunung Merapi, 6 Agustus 2018, pukul 08.30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar