Suatu hari, saat penduduk kota
Madinah lebih memilih tinggal di dalam rumah karena siang hari yang panas,
seorang lelaki mendatangi seorang anak laki-laki yang asyik bermain. “Nak, apa
yang berada di tanganmu itu?” Anak kecil itu menjawab. “Paman, ini adalah
seekor burung.” Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu
mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, “Burung ini tentu
sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika makhluk kecil ini
teraniaya.”
Rubrik Cahaya Jumat koran TRIBUN JOGJA tanggal 19 Januari 2018 halaman 4
“Bolehkah aku membelinya, nak?
Aku sangat ingin memilikinya,” suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki
yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras
beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia
berkata, “Baiklah paman,” maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung
kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.
Tanpa menunggu, lelaki ini
merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam
genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia
membuka genggamannya seraya bergumam senang, “Dengan menyebut asma Allah yang
Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah.”
Ia
menengadah hening memandang burung yang terbang jauh ke angkasa. Sungguh,
langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya
yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa
yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. “Nak, tahukah engkau siapa yang
membeli burungmu dan kemudian membebaskan ke angkasa? Dialah Khalifah Umar.”
Kisah
tersebut menjelaskan bahwa pada hakikatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk
menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-Qur’an Surat
Al-Jatsiyah ayat 13, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia
wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di dunia ini. Sayangnya anugerah
ini belum dikelola dengan baik, hakikat konservasi alam yang diajarkan Islam
belum menjiwai ummat Islam.
Akibatnya
masih terjadi perburuan dan jual beli satwa liar yang dilindungi. Oleh karena
itu, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan
Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI) bekerja sama dengan
Pengkajian Islam Universitas Nasional dan WWF Indonesia meluncurkan buku
berjudul “Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem’ dan “Khutbah
Jumat Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem” di kantor MUI,
Jakarta.
Buku yang sudah bisa didonlot ini berisi
penjelasan rinci tentang Fatwa MUI No. 04 Tahun 2014 yang telah dikeluarkan MUI
tentang pelestarian satwa langka untuk keseimbangan ekosistem. Sains dan
teknologi memang diperlukan dalam aksi konservasi alam, tapi pendekatan
berbasis agama juga turut dilibatkan. Menjaga
kelestarian satwa liar adalah wujud kepatuhan terhadap syariat yang akan
dinilai suatu catatan kebaikan atau pahala di sisi Allah SWT.
Sebaliknya barang siapa yang mengabaikan kaidah atau nilai konservasi
alam sehingga menyebabkan kerusakan dan bencana di muka bumi dan menelan
banyak korban, maka akan mendapat dosa dan siksa karena telah melakukan
suatu kedzaliman terhadap lingkungan sekitar. "Segala yang dimuka
bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk
: menjaga segala sesuatu dari kerusakan; memanfaatkannya dengan tetap menjaga
martabatnya sebagai ciptaan-Nya; melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan
demikian, mensyukuri nikmat-Nya dalam bentuk perbuatan nyata."(M. Fazlur
Rahman, 1973).
Patangpuluhan, 18 Januari 2019 pukul 20.47 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar