Di era perubahan iklim ini, peran
pertanian terlebih sektor pangan sangat strategis. Sektor pertanian sebagai
penyedia pangan dan bahan baku pengolahan ini perlu mendapatkan perhatian. Walaupun
sektor pertanian sebagai penyangga pangan dunia, namun hampir semua usaha tani
ini rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan
salah satu ancaman serius terhadap ketahanan pangan yang harus disikapi secara
bijak.
Capaian kedaulatan pangan sendiri masuk
dalam program Nawa Cita Presiden Jokowi, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Capaian ini
dituangkan dalam kebijakan program Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
untuk mendukung kedaulatan pangan 2015-2019, yakni penyediaan lahan 1
juta hektar untuk mendukung pembangunan sawah baru melalui pelepasan
kawasan hutan dan pinjam pakai; pemanfaatan areal hutan di bawah tegakan hutan
seluas 250.000 hektar; kemitraan dunia usaha dengan dana CSR produktif seluas
1,6 juta hektar; dan terbangunnya urban farming melalui
pemanfaatan kompos di 100 kota (KLHK, 2014).
Opini koran KR/Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Oktober 2017
Kebijakan pengelolaan
hutan sebagai penyedia pangan tertuang dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan dan
PP 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Anonim, 2009). Kontribusi kehutanan
dalam mendukung penyediaan pangan dapat bersifat tidak langsung maupun yang
mendukung sistem pertanian pangan.
Kontribusi
ini terkait dengan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengatur iklim
mikro, penyerap karbon dan sebagai sumber plasma nutfah. Peran hutan sebagai
penyedia pangan telah berlangsung sejak awal peradaban dan terus berlanjut
hingga saat ini (Puspitojati, 2014)).
Hutan alam
menyediakan aneka jenis pangan nabati, yang berupa buah-buahan, biji-bijian,
umbi-umbian, pati-patian dan sayuran sebagai sumber karbohidrat, protein dan
vitamin nabati, serta menyediakan beragam jenis pangan hewani yang berupa satwa
liar. Saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan,
masih menggantungkan sebagian kebutuhan pangannya dari hutan.
Selain
hutan alam, hutan tanaman juga telah dirancang-bangun agar memiliki potensi dalam
menyediakan pangan, baik secara periodis maupun secara berkelanjutan. Pada awal
pembangunan hutan tanaman jati di Jawa tahun 1850 sampai awal tahun 1990-an,
tanaman pangan hanya dibudidayakan pada saat permudaan hutan, yang dilaksanakan
dengan sistem tumpangsari (Simon, 2006).
Kontribusi
hutan sebagai penyangga pangan masyarakat desa sekitar hutan dalam kaitannya
dengan ketersediaan pangan nasional juga terlihat dalam tingkat produksi pangan
yang dihasilkan dari kawasan hutan. Berdasarkan data tahun 2008, luas kawasan
hutan yang telah memeberikan kontribusi pada pangan nasional mencapai lebih
dari 312.000 hektar dengan tingkat produksi lebih dari 932.000 ton setara
pangan dari jenis-jenis padi, jagung, kedelai, dan lain-lain (Kemenhut, 2010).
Namun, karena kendala sistem pencatatan dan pelaporan, kontribusi pangan dari
kehutanan selama ini belum tercatat dengan baik dalam statistik nasional.
Hutan sebagai
penyangga pangan bagi masyarakat desa sekitarnya memiliki setidaknya 77 jenis
tanaman sumber pangan penghasil karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 75 jenis
tanaman penghasil minyak dan lemak, 389 jenis biji-bijian dan buah-buahan, 228
jenis sayuran, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, 40 jenis penghasil
bahan minuman, serta tumbuhan obat sebanyak 1.260 jenis (Kemenhut, 2010).
Program tumpang sari yang dikerjakan Perum Perhutani bersama masyarakat desa
sekitar hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) selama tahun
2001-2009 produksi bahan pangan mencapai 13,5 juta ton (padi, jagung,
kacang-kacangan, dan jenis pangan lainnya), atau setara Rp 9,1 triliun.
Sistem agroforestry yakni pengelolaan tanaman
pertanian bersinergi dengan kawasan hutan menghasilkan kekayaan jenis tumbuhan
yang sangat tinggi. Di kawasan hutan
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan hutan desa sekitarnya memiliki potensi
tanaman pangan sebanyak 40 jenis dan tanaman obat sebanyak 47 jenis. Selain itu
ada potensi lain seperti tumbuhan hias (11 jenis), aromatik (7 jenis),
pakan ternak (7 jenis), pestisida nabati (4 jenis), pewarna dan tanin (2
jenis), kayu bakar (10 jenis), upacara adat (20 jenis), bahan bangunan (13
jenis) dan bahan tali, anyaman dan kerajinan (6 jenis) (Anggana, 2011).
Petani di sekitar TNGM memiliki tingkat interaksi dengan
gunung merapi yang cukup erat. Prinsip mereka adalah ‘Ora Ubet Ora Ngliwet’, yakni rezeki walaupun sudah diatur oleh
Gusti Allah tetap harus dijemput dengan bekerja keras.
Yogyakarta,
14 Oktober 2017