Negara Indonesia pernah dikenal sebagai megabiodiversity country karena dikaruniai dengan keanekaragaman
hayati (kehati) tertinggi di dunia, yakni 10-20% kehati dunia. Sayangnya, predikat tersebut
telah mengalami pergeseran menjadi hotspot
country, yakni Negara dengan laju kepunahan tertinggi di dunia (KLHK,
2017).
Kepunahan kehati tersebut disebabkan oleh invasi spesies asing
(eksotik), fragmentasi dan hilangnya habitat, eksploitasi tumbuhan dan satwa
liar, pencemaran, dan perubahan iklim. Melalui Hari Konservasi Alam Nasional
(HKAN) yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 22 Tahun 2009 dapat menjadi momentum keteladanan dan aksi nyata yang
melibatkan dan menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk berkomitmen melawan
ancaman tersebut.
Peringatan HKAN tahun 2017
dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dipusatkan di Taman Nasional Bali Baluran, Jawa Timur, dengan tema “Konservasi Alam
Konservasi Kita.” Salah satu isu yang diangkat pada HKAN 2017 ini adalah
permasalahan krusial pada ekosistem savana TN Baluran, yakni invasi spesies
eksoktik Acacia nilotica yang
mencapai luasan 5.592 Hektar pada berbagai tipe habitat (dari total luas
kawasan 25.000 Hektar) (KLHK, 2017).
Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Alam
Secara umum masyarakat
Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap konservasi alam, seperti kelestarian
hutan. Berbagai bentuk kegiatan konservasi hutan, penanaman jutaan pohon,
penyelamatan satwa serta konstruksi kearifan lokal masyarakat sekitar hutan
menjadi bukti konkrit dari hal tersebut. Contoh riil adalah partisipasi
masyarakat pecinta Capung atau Indonesia
Dragonfly Society (IDS).
IDS adalah sebuah komunitas yang berusaha mengupayakan
terciptanya kelangsungan keanekaragaman hayati Capung (Kinjeng dalam Bahasa Jawa) sebagai pusaka alam Indonesia. Komunitas
ini terbentuk atas dasar rasa ingin tahu, cinta dan kepedulian anggotanya akan
kelangsungan hidup Capung yang kian lama semakin langka. Capung adalah serangga
yang berperan penting bagi terwujudnya lingkungan yang sehat.
Capung juga merupakan indikator perairan yang
masih terjaga. Keberadaan Capung tentu bisa menjadi sahabat dunia pertanian
karena ia memiliki peran sebagai pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman.
Capung juga membantu mengendalikan nyamuk berikut jentik-jentiknya, dengan cara
memangsanya.
Namun ternyata, peran dan manfaatnya itu masih
belum banyak kita ketahui dan sadari, terutama oleh generasi muda sekarang. Hal
ini salah satu sebab populasi dan keberagaman Capung banyak berkurang seturut
dengan kondisi lingkungan yang semakin lama semakin rusak, padahal Capung akan
selalu membutuhkan perairan dan lingkungan yang baik agar terus berlangsung
kehidupannya.
Jambore
Capung Indonesia 2017
Dalam rangka menyambut HKAN 2017 sekaligus
Jambore Capung Indonesia 2017, IDS menyelenggarakan serangkaian kegiatan ‘Kumpul Bareng Pengamat Capung Nusantara.’
Kegiatan Jambore Capung Indonesia yang Kedua ini dilaksanakan di Kulonprogo,
tepatnya Obyek Wisata Alam Kembang Soka, dusun Gunung Kelir, Desa Jatimulyo,
Kecamatan Girimulyo.
Lokasi ini dipilih sebagai tempat temu data pengamat Capung
Indonesia, karena Desa Jatimulyo telah terbukti mampu menjaga kelestarian alam
wilayahnya. Hutan rakyat dengan berbagai jenis spesies tumbuhan masih terjaga
secara lestari, sehingga bebas dari serangan spesies eksotik. 30 jenis Capung ditemukan
di Desa Jatimulyo, yang berhabitat di sungai dan air terjun yang masih jernih
dan terjaga sejak dari hulu.
Selain Capung, Jatimulyo juga kaya akan keanekaragaman
burung. Terdapat 94 jenis burung di
kawasan ini (24 persen total jenis burung di DIY), keberadaannya dilindungi
oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan. Kegiatan selain kumpul bareng pengamat capung nusantara, adalah
mengamati Capung ‘Mengapung’ bersama, seminar oleh para Pakar Entomologi
(serangga), dan berbagi data Capung Nusantara selama tanggal 11 – 12 Agustus
2017.
Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2017 halaman 12
Sejatinya Indonesia memiliki
keragaman capung yang sangat tinggi, yaitu 15% dari total sekitar 5680 spesies
di seluruh dunia, namun pengetahuan mengenai capung masih sangat kurang. Selain
itu mayoritas publikasi mengenai Capung ditulis oleh peneliti asing. Selama beberapa dekade
terakhir, para ahli Capung dunia melakukan penelitian tentang peran Capung
sebagai alat memantau perubahan iklim dan menilai kualitas lingkungan.
Kegiatan konservasi yang
dilaksanakan oleh komunitas IDS sangat sesuai dengan prinsip HKAN. Salah satu
pertimbangan ditetapkannya HKAN adalah konservasi alam merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan yang harus terus
dilaksanakan dan dipertahankan pada setiap kegiatan dalam upaya perlindungan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai sistem penyangga kehidupan.
Jambore Capung Indonesia
2017 merupakan wujud aksi nyata HKAN yang melibatkan Pemerintah Desa,
akademisi, peneliti, birokrasi dan masyarakat umum, sesuai tema ‘Konservasi Alam Konservasi Kita.’ Sugeng Rawuh Para Pecinta Capung
Nusantara di kota Yogyakarta!