Melalui Resolusi 67/200 tahun 2012, PBB menatapkan tanggal 21 Maret sebagai
International Day of Forest atau Hari
Hutan Internasional (HHI). Jauh sebelumnya, Indonesia sudah memiliki hari
hutan, yakni Hari Bhakti Rimbawan. Hari hutan Indonesia bertepatan dengan
lahirnya Departemen Kehutanan pada tanggal 16 Maret 1983.
Pada tahun 2017 ini
Kementerian LHK akan merayakan Hari Bhakti Rimbawan ke-34. Tema yang diangkat adalah “Dengan Semangat Kerja Nyata, Rimbawan Indonesia Bertekad Menjaga Kelestarian Hutan untuk Meningkatkan Pembangunan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.” Tantangan
yang paling nyata rimbawan adalah bagaimana peran dan fungsi kehutanan dapat dioptimalkan kembali. Apalagi Presiden RI sekarang –Ir. JokoWidodo- adalah salah satu rimbawan,
lulusan Fakultas Kehutanan UGM.
artikel di OPINI koran Kedaulatan Rakyat tanggal 21 Maret 2017
Kebijakan Nasional 2015 – 2019 seperti rehabilitasi lahan kritis 5,5 juta
hektar, pemulihan 15 DAS prioritas dan 15 Danau prioritas, peningkatan populasi
tumbuhan dan satwa dilindungi, pengelolaan kawasan konservasi, perhutanan
sosial, pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan ciri rekognisi dan
sinsitifitas kita untuk senantiasa menjaga fungsi lahan seperti fungsi regulasi
sistem penopang kehidupan, fungsi carrier
dan produksi serta fungsi informasi agar tetap stabil memenuhi bagi kepentingan
manusia (Nurbaya, 2017). Secara nyata, kebijakan dan langkah dalam bidang
lingkungan hidup dan kehutanan itu untuk kesiagaan energi, air, pangan dan
kesejahteraan masyarakat yang kita percaya bahwa di dalamnya ada peran hutan
dan ekosistemnya yang sangat penting.
Salah satu program Nawa Cita Presiden Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Oleh Kementerian LHK program ini dijabarkan dalam kegiatan mengelola
area seluas 12,7 juta hektar bersama masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat.
Bahkan dalam pengelolaan kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margawasatwa, Hutan Lindung) sudah semakin melibatkan masyarakat setempat.
Pelibatan masyarakat ini didasarkan pada bukti bahwa masyarakat sejatinya lebih mampu dalam menjaga kelestarian hutan. Apalagi masyarakat yang masih memegang kearifan lokal setempat. Di
beberapa daerah di Jawa yang
kawasan hutannya masih terjaga, masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal yang mendukung pelestarian alam.
Masyarakat setempat memiliki pedoman ‘ngengehi anak putu ben komanan’ (Prasetyo,
2012). Maksud dari ungkapan ini adalah ketika memanfaatkan kekayaan alam mereka selalu teringat bahwa isi dan kekayaan alam lingkungannya tersebut tidak hanya untuk generasi mereka saja, tetapi juga untuk generasi anak-cucu mereka.
Mereka memegang teguh prinsip:“Manungsa,
alam paringane Gusti. Mila manungsa kedah menfaataken kanthi dipunjagi
ingkang sae. Awit kabetahanipun tiyang gesang:
toya, siti lan sanesipun, kawula menawi mboten dipunmekaraken mangkenipun badhe mboten cekap.” Maksudnya,
bahwa manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkandanmenjaganyadenganbaik.Kekayaanalamyang
dimanfaatkan dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi
yang akan datang.
Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan kearifan lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral ini secara tidak langsung menjadi mekanisme kultural untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam hutan agar tidak berlebihan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem hutan.
Tradisi tersebut dapat dilihat di Desa Jatimulyo,
Kecamatan Girimulyo,
Kulonprogo. Desa yang terletak
di kawasan karst Pegunungan Menoreh ini masih kental dalam memegang kearifan lokal dalam melestarikan kawasan hutan. Masyarakat masih teguh memegang tanahnya agar tidak dibeli orang luar.
Alhasil masyarakat Jatimulyo dapat menikmati air bersih yang mengalir dari 6 tuk (sumber air) dan kebutuhan hidupnya dari hasil pengelolaan hutan secara lestari. Inilah wujud nyata masyarakat dalam menjaga unsur utama sumber daya alam, yakni toya lan siti atau
air dan tanah. Peran Rimbawan sekarang adalah menggali kearifan lokal masyarakat ini untuk diterapkan dalam pengelolaan hutan secara lestari.
Selamat Hari Bhakti Rimbawan dan Hari Hutan Internasional!
Patangpuluhan, 17 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar