Tidak bisa dipungkiri, kita hidup di negara yang tidak lepas dari
bencana alam. Kenyataan ini harus kita terima, ketahui dan waspadai dampaknya,
terutama potensi korban jiwa. Data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2017 telah terjadi bencana alam
sejumlah 884 kejadian di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bencana alam yang
terjadi dalam rentang 3 bulan sudah membawa korban meninggal dunia sebanyak 120
orang dan mengakibatkan 961.440 orang menderita dan mengungsi (data BNPB sampai
Maret 2017).
Fakta
ini menandakan masyarakat masih minim pengetahuannya dalam mitigasi bencana
alam, akibatnya masih ada korban jiwa dan kerugian lainnya. Mitigasi bencana adalah
rangkaian upaya mengurangi risiko bencana, yakni melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Belajar
dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang membawa korban jiwa
sebanyak 347 jiwa; desa-desa berada pada Area Terdampak Langsung (ATL) erupsi
atau pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III berbenah diri.
Mereka sadar bahwa upaya mitigasi
bencana jauh lebih baik dibanding tindakan penanggulangan. Pasalnya tindakan
penanggulangan seringkali tidak dilaksanakan atau memperhatikan terhadap
bencana yang mengakibatkan kepunahan spesies tumbuhan atau satwa liar. Padahal
kepunahan satu spesies dapat menyebabkan terganggunya suatu ekosistem. Bahkan
akhir-akhir ini bencana yang terjadi merupakan ulah manusia seperti terjadinya
perubahan iklim yang berawal dari deforestasi.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 April 2017
Gagasan
Desa Balerante, Desa Mitigasi dan Konservasi
Desa
Balerante yang berada di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten merupakan salah
satu desa yang berada pada ATL dan KRB III. Kawasan konservasi Taman Nasional
Gunung Merapi (TNGM) yang berada di wilayah administrasi Desa Balerante terkena
dampak parah tersapu awan panas erupsi 2010. Meskipun semua rumah
hancur tersapu awan panas, warga Balerante masih bersyukur karena peristiwa
tersebut membawa korban jiwa 1 orang, padahal jarak dari Puncak Merapi sekitar
4 Km.
Hal
ini tidak lepas dari peran tokoh masyarakat yang sigap turut membantu
kelancaran proses evakuasi dengan menyediakan sarana transportasi secara
swadaya. Selain itu Pemdes Balerante juga sudah mempunyai Sistem Informasi Desa
(SID) yang sangat membantu dalam mitigasi bencana. Dalam SID tidak hanya berisi
data monografi desa, tapi juga jumlah sarana transportasi tiap rumah yang dapat
digunakan untuk evakuasi.
Data
dan informasi dalam SID ini tidak hanya membantu desa dalam memetakan situasi
dan pengambilan keputusan pada kondisi normal, tapi juga saat kondisi darurat.
Meskipun rumah dan harta benda hilang akibat erupsi, namun hal itu tidak
mematahkan semangat warga Balerante untuk bangkit menata hidup kembali.
Bermodalkan kekuatan sendiri dan gotong royong, serta ditambah dengan dukungan
berbagai pihak, kehidupan social ekonomi warga Balerante mulai tertata kembali.
Semangat
serta proses untuk bangkit kembali ini yang menjadikan BNPB menggagas Desa
Balerante sebagai Sekolah Gunung, yakni lokasi untuk belajar pengelolaan
mitigasi bencana alam. Bahkan atas inisiatif Pemdes Balerante pada tanggal 14
April 2017 mengumpulkan stake holder
seperti BPBD, TNGM, LSM, pegiat wisata alam, dan lain-lain untuk menggagas
Balerante sebagai Sekolah Gunung yang berbasis mitigasi dan konservasi.
Tujuan
gagasan ini adalah untuk mengubah pola pikir pariwisata destruktif menjadi
pariwisata hijau, setelah meningkatnya kunjungan wisata di Desa Balerante
(Puguh, 2017). Selain itu juga bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam di
Balerante secara berkelanjutan. Tentu gagasan ini dilandaskan pada Perpres
Nomor 70 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan TNGM.
Kawasan
TNGM di Desa Balerante sendiri sebagian besar adalah zona rehabilitasi yang
sudah ditanami dengan jenis tumbuhan asli Merapi, dan telah membentuk ekosistem
hutan. Area ini diharapkan dapat menjadi benteng atau tembok hijau penahan
luncuran awan panas dan sistem peringatan dini alami. Selain itu zona rehabilitasi
juga dapat menjadi lokasi penelitian dan pembelajaran tentang suksesi maupun
konservasi alam.
Gagasan
Sekolah Gunung merupakan salah satu upaya menjadikan kawasan rawan bencana
menjadi pusat pembelajaran konservasi yang menopang mitigasi bencana. Apalagi
BNPB mencanangkan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN) pada 26 April
2017, yang bertujuan untuk membudayakan latihan
secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran,
kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana.
Allaahu ‘alam.
Patangpuluhan, 24 April 2017 pukul 06.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar