Aktivis dakwah pasti akrab dengan istilah syuro, rapat, briefing, meeting, dll.
Syuro yang sering kita sebut dengan “musyawarah” berasal dari kata sya-wa-ra dengan makna dasar “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Secara
lebih mudah, arti dari syuro adalah: memilih mana baik seperti madu, dan
meninggalkan yang jelek.
Syuro adalah proses yang dilakukan oleh
sekumpulan individu dalam suatu kelompok/organisasi untuk menelaah
kemashlahatan dan kemudharatan dari suatu hal, yang nantinya hasil mufakat
tersebut akan
dijadikan sikap kolektif kelompok/organisasi.
Syuro berkaitan erat dengan organisasi. Untuk bisa menjalankan visi dan misi, para aktivisnya haruslah bergerak
bersama. Menyatukan tekad, merumuskan tujuan dan menyusun langkah-langkah yang akan diambil.
Hadirnya personil syuro
menjadi sangat penting dalam pengambilan keputusan bahkan keberlangsungan
organisasi. Bagi organisasi dakwah, syuro
adalah suatu alat untuk membentuk ta’liful
qulub (ikatan hati) para pengurus/aktivisnya.
Sayangnya fenomena sekarang banyak aktivis
enggan untuk hadir dalam syuro. Berbagai macam alasan dihadirkan, seperti “ada rapat RT”, “hujan”, “ngantar anak ke toko”, “keluar kota”, bahkan sampai
alasan yang paling menyebalkan: “lupa” atau “ketiduran”. Pernah ada
murid ngaji yang mengemukakan dua alasan terakhir tersebut akhirnya dikenai
sanksi iqab/hukuman, terutama
istighfar sebanyak-banyaknya.
Tentu suatu saat ada halangan tidak hadir
syuro, tapi lebih bagus jika alasannya diterima secara syar’i. Lebih elegan
lagi jika tidak hadirnya syuro diimbangi dengan komitmen untuk menggantinya
dengan yang sama ukurannya atau bahkan lebih baik, seperti:
“Saya akan bantu pendanaan kegiatan ini’
“Undangan atau publikasi wilayan kecamatan
Kraton biar saya saja yang menyampaikannya.”
“Beri saya 5 proposal untuk saya carikan
sponsor kegiatan”
Terus terang saya rindu dengan suasana keberlangsungan
organiasi dakwah zaman dulu, seperti tahun-tahun awal FSRMY. Tiap biro ada
syuro rutin per pekan. Biro PPRM di masjid Al Huda Harnas, Biro Inkov di masjid
Baiturahman, biro Dakwah di masjid Jogokaryan. Tiap 2 pekan sekali syuro sambil
kajian FSRMY. Bahkan jika ada kegiatan akbar seperti Ramadhan Malioboro hampir
tiap hari syuro. Semua dilakukan dengan kesadaran dan penuh semangat.
kenapa syuro sambil makan lebih menarik??
Sekarang jarang saya temukan di organisasi
dakwah. Malah saya temukan 2 bulan lalu saat rapat koordinasi kegiatan Merapi
Birdwatching Competition 2016 bersama teman-teman Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta (PPBJ). Hampir
tiap malam koordinasi di taman kuliner condong catur. Semua semangat untuk
hadir, bahkan ada yang rumahnya Brosot, Kulon Progo juga hadir.
Ya, menghadiri syuro adalah salah satu bentuk
komitmen dan konsistensi dari para kader dakwah untuk keberlangsungan.
Media sosial memang sarana bagus untuk syuro,
tapi kekuatannya dan semangat dakwahnya beda jauh dengan bertemu dan bersyuro
langsung. Usul kegiatan dakwah di media sosial sangat mudah, tapi menjalaninya
melalui syuro dan aksi riilnya membutuhkan komitmen kuat. Mungkin bisa salah
satu menjadi ukuran keimanan.
Jika ada meme di medsos yang berbunyi, “jangan
bicara Islam tinggi-tinggi, kalau subuhmu belum di masjid”; maka saya akan buat
meme, “Jangan bicara Islam tinggi-tinggi, kalau jarang hadir syuro.”