Semakin
maraknya pembangunan infrastruktur seiring dengan pesatnya pembangunan dan
pemekaran wilayah menjadi ancaman utama penurunan integritas nilai-nilai
konservasi di Indonesia. Dampaknya adalah pada terfragmentasinya habitat alami
dari tumbuhan dan satwa liar; peningkatan eksploitasi sumber daya alam melalui
aktivitas pertambangan dan penebangan hutan; serta penurunan kualitas habitat
alami akibat introduksi tanaman maupun satwa invasif; serta dampak dari
pembuangan aktivitas pertambangan di sekitar kawasan.
Pelaksanaan kegiatan
konservasi dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, haruslah menjadi
komitmen dan tanggung jawab seluruh masyarakat secara luas. Kebijakan
nasional maupun internasional tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat
secara luas. Oleh karena itu, tema Hari Konservasi Alam Nasional
(HKAN) tahun 2016 ini adalah ‘Konservasi
untuk Masyarakat’. Peringatan HKAN berlangsung
pada 10 Agustus 2016 yang dilaksanakan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan dipusatkan di Taman Nasional Bali
Barat, Bali.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2016 halaman 12
HKAN ditetapkan oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 Agustus
2009 melalui
Keppres No. 22 tahun 2009. HKAN tahun ini bertempat di TN Bali Barat, karena keberhasilan masyarakat
sekitar kawasan konservasi dalam menangkarkan satwa dilindungi yang menjadi
ikon Bali, yakni Jalak Bali (Leucopsar rothchildi).
Menurut Dr. Tachrir Fathoni (Dirjen Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK), KLHK akan memberikan burung Jalak Bali ke
masyarakat untuk ditangkarkan, sebagai bentuk apresiasi masyarakat yang peduli
dengan konservasi. Langkah
ini diambil untuk mengajak masyarakat melakukan konservasi terhadap satwa liar dilindungi sekaligus membuka peluang sumber
pendapatan lainnya.
Saat ini hanya ada 64 ekor jalak Bali di
habitat aslinya di TN Bali Barat.
Namun demikian sudah ada 3700 ekor hasil penangkaran yang sukses dilakukan oleh
masyarakat (Ditjen KSDAE KLHK, 2016).
Keberhasilan masyarakat penyangga kawasan
konservasi TN Bali Barat dalam menangkarkan Jalak Bali menambah daftar
keberhasilan masyarakat dalam mengelola kawasan lindung. Warga Dayak Wehea di
Kalimantan Timur berhasil mengelola kawasan hutan adat seluas 38.000 hektar.
Kawasan lindung Wehea yang terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur ini masih terjaga
keasliannya ditengah kepungan perkebunan sawit, HPH dan pertambangan.
"Kelompok Pelindung Hutan" yang dibentuk oleh warga Dayak Wehea bertugas mengamankan kawasan hutan dari berbagai kerusakan baik dari akfitas illegal logging maupun bencana kebakaran
hutan dan lahan. Kearifan lokal
masyarakat dalam menjaga kelestarian itu ternyata mendapat sorotan
internasional, terbukti merebut juara III (tiga) dalam penghargaan "Schooner Prize Award 2008" di
Vancouver, Kanada.
Bahkan Kepala Adat Dayak Wehea ‘Bapak Ledjie’ diajak
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berbicara tentang
keberhasilan mengelola kawasan lindung pada konvensi Perubahan Iklim Dunia di
Paris, Perancis, pada Desember tahun 2015. Kawasan konservasi di Indonesia
(Taman Nasional, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) sendiri sejak lama telah
bekerjasama dengan masyarakat sekitar kawasan dalam menjaga kawasan konservasi.
Kelompok Masyarakat Mitra Polhut (MMP), Masyarakat
Peduli Api (MPA) maupun Kelompok Tani, Kelompok Pemanfaatan Air, Kelompok Sadar
Wisata Alam merupakan contoh dari sinergitas Pemerintah dan masyarakat dalam
menjaga kawasan konservasi. Contoh lain adalah peran aktif masyarakat Desa
Girikerto, Turi, Sleman dalam melestarikan burung sekitar kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Dipelopori oleh pemudanya, warga Desa Girikerto sejak
tahun 2013 aktif melepasliarkan burung endemik Merapi seperti Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus), Bentet kelabu
(Lanius schach), dan Kacamata (Zosterops palpebrosus). Tujuan
melepasliarkan kembali ke alam adalah untuk memberi contoh model menjaga
ekosistem alam di Merapi.
Bagi anggapan warga Girikerto, burung-burung liar
adalah teman dalam berinteraksi dengan hutan Merapi seperti saat mencari
rumput, selain sebagai penanda atau peringatan menjelang erupsi Merapi. Kearifan
lokal ini berkembang dan dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat
tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan
situasi,kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat
yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi
bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan
hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan
kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan, sesuai tema HKAN
2016, Konservasi untuk Masyarakat.
@Patangpuluhan, 8 Agustus 2016 pukul 20.30 WIB