Pada
tahun 2006 Saya pernah menulis untuk sebuah website remaja masjid kota
Yogyakarta. Tema tulisan tersebut tentang keprihatinan generasi muda Islam
terutama aktivis masjid pada salah satu tradisi keilmuan, yakni membaca atau
menulis. Tidak berapa lama website tersebut akhirnya hilang karena tidak ada
pengurusnya yang ‘ngopeni’ website dengan artikel-artikel yang menarik dan
mencerdaskan.
Ternyata
kejadian tersebut berulang kembali. Pada tahun 2014 saya diminta membuat
tulisan lagi untuk sebuah website PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Muslim di
Beijing, Tiongkok. Tidak sampai satu tahun website tersebut vakum. Kalah dengan
jejaring sosial media yang semakin marak.
Saya
jadi teringat pada tulisan lama penyair Nasional, Taufik Ismail. Beliau pernah
menulis di koran, kalau budaya membaca pelajar Indonesia sangat lemah. Untuk
pelajar SMP-SMU di negara kita, ternyata sangat jarang yang menyisihkan waktu
untuk membaca buku non pelajaran (selain komik) pada tiap bulannya. Tetangga
kita Malaysia, pelajar SMP-SMU mampu membaca sekitar 5 buku non pelajaran tiap
bulannya. Negara maju, seperti Jepang, Amerika, Canada, Eropa mampu membaca
10-15 buku. Apalagi
sekarang sudah tertandingi sosial media menjadikan buku semakin tersisih.
Tradisi keilmuan semakin memudar.
Saat
ini pemuda lebih suka membaca bacaan-bacaan sampah di sosial media,
daripada buku-buku pemikiran tokoh-tokoh Islam kita, seperti dari zaman Islam
klasik. Akibatnya mereka
sangat mudah digiring opininya maupun dicuci otaknya oleh media massa sekuler
atau liberal.
Harusnya kita mulai dari awal lagi belajar Islam.
Kita perdalam aqidah, kita amati, pelajari asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya
ayat-ayat AL-Qur’an), asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadis), tafsir,
sejarah, tokoh dan karya-karyanya (seperti muqaddimah-nya ibnu Khaldun, Tahafut
Falasafiyah-nya Al-Ghazali dan balasannya ibnu Rusyd, Tahafut Tahafut). Sudah
kita ketahui bersama kalau ayat Al-Qur’an yang turun pertama kali adalah
tentang membaca. Sudahkah kita pelajari dengan seksama makna dan kandungannya??
Tidak ada alasan bagi orang yang mendalami ilmu
seperti eksakta untuk
mengkesampingkan ilmu Islam ini. Karena belajar Islam adalah fardhu ’ain. Cendekiawan muslim seperti Malik bin
Nabi dari Aljazair adalah salah satu contoh ahli eksak di bidang Elektro dan
ahli pemikiran Islam. Buya HAMKA, sastrawan yang mengeluarkan tafsir Al-Azhar.
Pada
tahun 90an Stephen R Covey, dalam bukunya, “The 7 Habits of Highly Effective People”, mengatakan:
”Orang yang tidak pernah membaca tidak lebih baik daripada orang yang tidak
dapat membaca.”Anthony Robbins, pakar psycho-cybernetics (otak bawah sadar)
dalam bukunya Unlimited Power; mengatakan bahwa buku adalah sumber informasi
dan barang dagangan raja-raja (yang menguasai dunia) zaman sekarang.
Berkaitan dengan menulis, Al-Qur’an dalam surat
AL-Baqarah ayat 282 mengharuskan kita untuk menulis. Napoleon
Bonaparte (Jendral Perancis)
mengatakan, ”Tulisan lebih saya takuti daripada senapan.”
Para
founding fathers bangsa ini juga seorang penulis handal. Seperti Soekarno,
Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, dlsb berjuang untuk
kemerdekaan melalui tulisan-tulisan yang menggugah. Yang menarik adalah
beberapa tulisan Muhammad Natsir dalam menandingi tulisannya Soekarno yang
terpengaruh oleh pemikiran sekuler dari Mustapha Kemal Attaturk. Perdebatan yang mencerahkan dari Politikus, sangat jauh dibandingkan dengan zaman sekarang.
“Agama
adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang
akal,” begitu kata seorang Ulama.
Ahh .. tiba-tiba merindu munculnya
Muhammad Natsir, Buya Hamka muda dari Masjid, Mushola, Surau ..
Patangpuluhan, 19 April 2016, pukul 20.30 saat kejar tayang bahan ikut kuliah Islamic Studies 'Intellectual Youth Summit 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar