Beberapa
tahun ke belakang ini aktivitas kegiatan pemuda-remaja masjid relatif menurun. Masjid-masjid
walaupun jumlahnya bertambah tapi sepi dari kegiatan pemuda-remaja, terutama
kegiatan keilmuan. Di Jogja sendiri, organisasi kemasjidan seperti FSRMY,
BKPRMI, Pemuda Muhammadiyah, dll kegiatannya sudah tidak meriah lagi. Apalagi jika
dibandingkan akhir tahun 70an sangat jauh. Menurut cerita Ust. HM Jazir Asp saat
acara Nasional BKPRMI di Jakarta, kontingen DIY mengirimkan utusan sebanyak 2
gerbong kereta api.
Tahun
2002 – 2004 saat menjadi pengurus FSRMY sebagai Koordinator Bidang Pembinaan
dan Pengembangan Remaja Masjid (PPRM), bersama teman-teman Saya merintis
Kelompok Studi Remaja Masjid (KSRM). Ide pendirian KSRM berasal dari booming buku dan
video dari Harun Yahya. Prestasi terbesar KSRM adalah menyelenggarakan Seminar
Ilmiah di Hotel Inna Garuda dalam event Ramadhan di Malioboro tahun 2002. Kegiatan
KSRM seperti diskusi ilmiah tiap 2 – 4 pekan sekali akhirnya hilang setelah
pengurusnya sibuk di FSRMY Trainer maupun studinya.
Kegiatan KSRM yang berbasis masjid
mengingatkan akan perkembangan tradisi keilmuan muslim yang mencapai puncaknya
pada Dinasti Abbasiyah sampai Turki Usmani ternyata diawali dari Masjid. Al-Suffah adalah “universitas” pertama
yang dibangun sendiri oleh Rasulullah Saw di Madinah. Shuffah adalah ‘emperan’ masjid Nabawi. Mahasiswanya disebut Ashab al-Shuffah, atau Ahl al-Shuffah di dalamnya mereka
membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan
Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung
di bawah pengawasan Rasulullah Saw.
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami
Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur
konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Produk Ilmuwan
Muslim Ash-Shuffah diantaranya adalah Sahabat Abu Hurairah, Abu Dzar
al-Ghiffari; Salman al-Farisi, dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
Bahkan Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit
menjadi guru di madrasah Al-Shuffah
untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Komunitas ilmuwan atau
ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian
selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu.
Dalam riwayat menurut Wadiyah Ibn Atha: “di Madinah terdapat 3 orang guru yang
mengajar anak-anak, Khalifah Umar ra memberikan nafkah kepada tiap-tiap mereka
15 dinar setiap bulan (cat.: saat ini 1 dinar= ± Rp 2 juta).” Dana diambil
dari baitul Mal/kas negara. Demikianlah bukti perhatian para Sahabat terhadap
ilmu pengetahuan. (Nadaa, 2005)
Tradisi intelektual Ash-Shuffah berlanjut
hingga masa Dinasti Umayyah, dengan tetap berpusat di Masjid. Pada masa ini
semakin banyak intelektual muslim muncul, seperti pakar bidang Hadist ‘Hasan al
Basri, pakar Kedokteran al-Harits ibn Kaladah’, pakar Kimia, Optik, Astrologi, ‘Khalid’
(putra khalifah Umayyah kedua).
Pada masa Dinasti Abbasiyah tradisi keilmuan
Muslim semakin meningkat dan berkembang. Berawal dari masjid dan
halaqah-halaqah berkembang menjadi Pusat2 Studi Dar al-Kutub/ Darul Ilmi; dan
Pusat Terjemahan Baytul al-Hikmah. Aktifitas yang dilakukan keilmuan yang
dilaksanakan adalah 1) Mengkaji Islam dan menterjemah karya-karya asing
(catatan: gaji penerjemah sekitar Rp 3.750.000/bulan dan emas seberat buku); 2)
Mentransformasi konsep asing ke dalam Islam; dan 3) Mengembangkan Sains Islam.
Ilmuwan muslim terkenal dari Dinasti
Abbasiyah adalah pakar matematika dan astronomi Al-Khawarizmi/Algorizm; pakar
falsafah, fisika dan optik Al-Kindi; pakar filsafat dan Kedokteran Ibnu Rush,
Ibnu Sina, Pakar bedah dan kedokteran Ibnu Zuhr; dll.
Abad ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling
menyedihkan bagi umat Islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam
secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa
menjelang abad ke-18, ummat Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam
tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang
kering-kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan
martabat umatnya. Ia, menyatakan seandainya Muhammad Saw bisa kembali hidup,
dia pasti akan mengutuk para pengikutnya: sebagai kaum murtad dan, musyrik.
(CA. Qadir, 1989) Peryataan Stoddard ini
menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan
Islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh
bangsa-bangsa Barat.
Menurut cendekiawan muslim Aljazair ‘Malik bin Nabi’,
problem setiap bangsa sesungguhnya adalah problem peradabannya. Tidak mungkin
suatu bangsa bisa memahami atau memecahkan kesulitan-kesulitannya sepanjang ia
tidak naik bersama pemikirannya ke peristiwa-peristiwa yang manusiawi dan tidak
memahami secara mendalam faktor-faktor yang membangun atau meruntuhkan
peradabannya. Menurut cendekiawan muslim Indonesia ‘Hamid Fahmy Zarkasyi’, masalah peradaban atau civilization ummat Islam hanya dapat diselesaikan jika ummat Islam
kembali pada worlview Islam dan tradisi keilmuan.
Belajar dari Majelis Ash-Shuffah perlu untuk
menghidupkan kembali tradisi keilmuan di masjid-masjid dengan diskusi-diskusi
ilmiah yang mencerdaskan. Bukankah kata ‘ilm’
dalam Al-Qur’an disebut 750 kali (17%) setelah kata ‘Allah’ (2800 kali, 62%)??
Ahh .. tiba-tiba merindu hadirnya Majelis Ash-Shuffah
di serambi-serambi masjid ..
#Patangpuluhan, 30
April 2016, pukul 22.13.