Tanggal 4 - 7 November 2016 saya memperoleh
undangan konferensi tahunan Beijing Forum di ibukota Tiongkok, Beijing. Beijing
Forum merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Peking University
(universitas terbaik di Tiongkok), untuk memfasilitasi forum akademik
internasional yang bertujuan untuk mendorong perkembangan sosial dan harmoni
antar peradaban serta meningkatkan kesejahteraan ummat manusia.
Di dalam Beijing Forum tahun ini
ada forum yang bernama SCCS (Student
Conference on Conservation Science) dan mengusung tema “Developing Sustainable and Practicable Approaches to Conservation for
the 21st Century.” Forum ini diharapkan dapat berbagi informasi dan ilmu
pengetahuan dalam pengelolaan kawasan konservasi untuk kelangsungan hidup
manusia.
Kebetulan abstrak tentang budaya masyarakat merapi yang mendorong restorasi
kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dapat diseminarkan dalam Beijing
Forum ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ke-6 setelah erupsi Merapi
tahun 2010 yang membawa dampak kerusakan kawasan TNGM.
Opini SKH Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 November 2016
Erupsi dan Restorasi Merapi
Erupsi tahun 2010 (Oktober – Nopember) melanda sebagian besar kawasan TNGM. Kerugian yang diakibatkan bencana
alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Erupsi Gunung Merapi
secara periodik membawa konsekuensi perubahan ekosistem secara dinamis. Perubahan ekosistem
ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya.
Perubahan
ekosistem yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya vegetasi perlu
direstorasi dengan melakukan penanaman jenis-jenis vegetasi asli yang pernah
ada dalam ekosistem tersebut. Sebenarnya secara alami, ekosistem yang terganggu
akan dapat memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi alam, namun
mengingat kerusakan ekosistem hutan di TNGM akibat erupsi maka proses suksesinya
akan memerlukan waktu yang sangat lama.
Sementara
itu, pemulihan ekosistem perlu segera dilakukan untuk mengembalikan
fungsi-fungsi hutan yang hilang seperti fungsi habitat satwa, fungsi lindung
hidrologi dan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu
diperlukan campur tangan manusia dalam rangka membantu mempercepat proses recovery
(pemulihan) ekosistem yang terdegradasi.
Salah
satu cara yang efektif program restorasi TNGM adalah dengan mengoptimalkan
peran serta masyarakat untuk terlibat aktif. Diyakini bahwa kegiatan-kegiatan
skala kecil berbasis budaya lokal yang dilakukan oleh masyarakat dapat
memberikan dampat positif yang lebih dahsyat dibandingkan mega proyek
berteknologi tinggi yang mengandung resiko ekonomi-sosial-politik dan
lingkungan yang tidak kecil.
Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan
oleh suatu kelompok masyarakat setempat yang terhimpun dari pengalaman panjang
menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang
harmonis (Habibudin, 2006). Nilai kearifan dan budaya yang
dipegang erat masyarakat Merapi sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dari Kraton
Mataram dan Yogyakarta.
Masyarakat masih memegang kepercayaan
bahwa antara Gunung Merapi, Kraton
dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Mereka meyakini
gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga
kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu
Hayuning Bawono, Ambrasta
dur Hangkara” dalam pelestarian alam yang
diaplikasikan dalam beberapa tradisi budaya. Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta
dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus
mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas
sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Wujud nyata kearifan lokal masyarakat
sekitar kawasan TNGM yang terkenal adalah upacara Labuhan. Upacara yang
dilakukan oleh masyarakat di dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan Sleman
(Merapi lereng Selatan) serta Kecamatan Selo, Boyolali (Merapi lereng Utara)
adalah praktik penjagaan kelestarian alam melalui upacara adat. Kedua kawasan
tersebut relatif terjaga kelestariannya.
Bahkan masyarakat
ikut terlibat aktif dalam kegiatan restorasi yang dilakukan oleh TNGM. Selain
itu, mayoritas desa sekitar TNGM juga memiliki budaya ‘merti desa atau merti bumi’, yakni ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan YME atas nikmat rezeki berupa alam Merapi yang memberikan kehidupan.
Merti bumi di Desa Tunggularum, Kecamatan Turi, Sleman contohnya, saat merti
bumi juga dilakukan kegiatan penanaman.
Demikian pula dengan
di Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten juga ada kegiatan budaya ‘wayang kulit’ yang dilaksanakan di
dalam hutan ‘Saluman’ saat malam
hari. Paginya dilakukan penanaman di daerah ‘gundul’ akibat terdampak erupsi. Dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara berarti sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga
berorientasi pada nilai ekonomi, namun tanpa mengabaikan nilai ekologinya yang
sangat besar artinya bagi nilai konservasi dan pelestarian.
Dengan
falsafah tersebut masyarakat Merapi memandang bahwa lingkungan alam sekitar sebagai bagian integral dari
kebudayaan, mereka mempunyai kepercayaan penuh bahwa lingkungan alam sekitar adalah
penyedia sumber penghidupan bagi mereka, oleh karena itu harus dijaga, dimanfaatkan
dan dikelola secara arif. Falsafah
masyarakat Merapi ini sangat mendukung program restorasi atau pemulihan
ekosistem di kawasan TNGM dan sekitarnya.
@Tangerang, 1 November 2016 pukul 20.30 WIB