Saat ini tepat 5 tahun erupsi besar Gunung
Merapi (26 Oktober – 6 Nopember 2010) yang membawa korban jiwa, harta benda dan
ekosistem yang tidak sedikit. Luncuran awan panas (pyroclastic flow) telah merusak dan
memusnahkan sebagian hutan di kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi (TNGM). Bahkan
erupsi tersebut oleh Presiden
SBY ditetapkan sebagai Bencana
Nasional.
Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif, kawasan
Gunung Merapi merupakan daerah rawan bencana.
Bencana alam erupsi Merapi tahun 2010 menjadikan
pelajaran berharga bagi pengelolaan Taman
Nasional (TN) yang berbasis pada mitigasi bencana alam
(pengurangan resiko bencana alam). Pengelolaan TN berbasis pada mitigasi bencana
adalah model pengelolaan yang disesuaikan dengan kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), dan komponen yang
beresiko (elemen at risk) terhadap
kepunahan.
Spesies (makhluk hidup) yang paling rentan terhadap
kepunahan meliputi organisme besar; makanan; spesies populasi ukuran kecil;
spesies yang telah berevolusi dalam isolasi; spesies dengan penyebaran miskin;
migrasi spesies; dan spesies bersarang dalam koloni. Beberapa faktor yang
mendorong meningkatnya kepunahan adalah kerusakan habitat; spesies
asing/pendatang (invasive alien species);
eksploitasi berlebihan dan perburuan; fragmentasi habitat; dan bencana alam.
Opini TribunJogja tanggal 30 Oktober 2015
Faktor penyebab kepunahan keanekaragaman hayati sendiri
berkaitan erat dengan teori biogeografi pulau. Teori ini menjelaskan bahwa luas
area pulau akan menentukan jumlah spesies yang menghuninya. Saat luas habitat
alam suatu pulau berkurang akibat bencana, maka pulau tersebut hanya mampu
mendukung spesies sebanyak yang hidup pada pulau yang lebih kecil ukurannya
(Supriatna, 2008).
Teori biogeografi pulau dapat digunakan untuk menjelaskan
fenomena kepunahan spesies yang terdapat di kawasan konservasi, seperti TN.
Kawasan TN dianggap sebagai suatu pulau yang dikelilingi oleh habitat yang
rusak. Ketika pulau itu rusak akibat tingginya tekanan dari sekelilingnya, maka
spesies yang hidup di pulau tersebut akan musnah.
Pemodelan yang dilakukan Mac Arthur dan Wilson (1967) menyebutkan bahwa apabila 50% dari luasan kawasan rusak,
maka 10% spesies yang ada didalamnya punah (Primack, 1993). Hasil Rapid Damage Assessment dengan citra
satelit yang dilakukan oleh Balai TNGM menunjukkan 5.263,06 Ha
atau 82,10% total kawasan rusak.
Alhasil selama 5 tahun pengelolaan TNGM lebih
memfokuskan pada kegiatan
restorasi ekosistem (pemulihan
ekosistem). Selain itu juga kegiatan monitoring
kembali potensi tumbuhan dan satwa liar; serta sumber/mata air. Kegiatan
restorasi juga meliputi kegiatan penanaman dan pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan TNGM.
Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya dilaksanakan
internal Balai TNGM, tetapi juga kerjasama dengan stake holder seperti Fakultas Kehutanan
UGM, BPPTKG, SAR, JICA,
LSM Kanopi, Kutilang, media massa, dan lain sebagainya.
Bahkan satu tahun ini Balai TNGM juga melakukan kegiatan mitigasi bencana seperti
kecelakaan pendakian dan pengendalian kebakaran hutan.
Operasi khusus SAR (Search
And Rescue) pendaki Ery Yunanto pada bulan Mei 2015 dan kebakaran di
wilayah Magelang selama musim kemarau ini menjadikan pelajaran berharga bagi
Balai TNGM. Paska kejadian tersebut Balai TNGM melakukan peningkatan kemampuan
SAR petugas TNGM terutama yang berada di Resort bersama masyarakat.
Balai TNGM tidak dapat bekerja tanpa dukungan dan peran
serta masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sekitar TNGM dilibatkan dalam
pengelolaan. Untuk bidang SAR sudah terbentuk 2 kelompok SAR yang sudah dapat
diandalkan, yakni SAR Barameru dari Desa Lencoh, Selo, Boyolali; dan SAR 12
dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.
Demikian pula dengan bidang pemberdayaan masyarakat,
sudah terbentuk kelompok tani hutan di hampir semua desa sekitar kawasan TNGM.
Kelompok tani ini selalu dilibatkan dalam kegiatan restorasi kawasan akibat
erupsi, serta kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat.
Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan mengelola
kawasan rawan bencana Balai TNGM sudah menyusun visi untuk rencana strategis
tahun 2015 – 2019, yakni: “Menjadi Taman Nasional Yang
Mantap Dalam Mengelola Ekosistem Volkano Yang Dinamis Berbasis Partisipasi Para Pihak.” Semoga pembelajaran selama 5 tahun dapat memudahkan dalam
mencapai visi tersebut. Allahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar