5 tahun yang lalu (26 Oktober – 6
Nopember 2010) erupsi Merapi berlangsung, membawa korban jiwa, harta benda dan
ekosistem yang tidak sedikit. Luncuran awan panas (pyroclastic flow) telah merusak dan
memusnahkan sebagian hutan di kawasan (Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif, kawasan TNGM merupakan daerah rawan bencana.
Demikian pula dengan ekosistem Merapi mempunyai ciri khas, seperti perilaku letusannya, tipikal kerusakan yang ditimbulkan, serta proses ’biological recovery’-nya.
Sebenarnya tanpa restorasi, Gunung Merapi biasanya akan recovery (pulih) sendiri. Evaluasi
selama 5 tahun pengelolaan paska erupsi, pengelolaan Merapi masih terjebak pada tindakan pilihan antara restorasi
dan rehabilitasi, tanpa mempertimbangkan karakteristik, elemen, struktur, dan
fungsi Merapi (Danarto, 2014).
Opini Koran 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 2 November 2015
Untuk kasus Merapi juga dapat dilakukan re-vegetasi, yakni penanaman pohon sebagai upaya percepatan penutupan lahan untuk
perbaikan fungsi bio-fisio-ekologis. Strategi vegetasi ini dikembangkan
berbasis permasalahan faktual di lapangan. Tujuan utama re-vegetasi adalah untuk konservasi
dan daerah tangkapan air.
Merapi juga memiliki status tapak yang tergolong sangat khas. Untuk itu perlu
stratifikasi tapak yang jelas,
seperti sebelah kanan dan kiri sejajar dengan aliran lahar/lava; dan pada bagian lain
sejajar kontur (Danarto, 2014). Demikian pula dengan setiap spesies mempunyai kemampuan berbeda, karena individu setiap spesies
selalu bersifat unik.
Contoh nyata adalah pada kawasan terdampak erupsi
tingkat berat seperti Desa Glagaharjo, Sleman, ternyata tumbuhan yang
paling cepat pulih (recovery) adalah
pisang. 4 hari setelah terdampak awan panas, muncul tunas baru dari tumbuhan
pisang (Danarto, 2014). Padahal tumbuhan lain tinggal
batang utamanya saja, bahkan ada yang mati.
Jenis lainnya adalah rumput kalanjana dan bambu apus. Kurang dari
satu tahun sebagian besar kawasan lereng Selatan sudah rimbun dengan jenis
Akasia dekuren/Sogo (Acacia decurens).
Kawasan ini sebelumnya terdampak parah, tidak tersisa satu jenis pepohonan. Fenomena
Akasia dekuren menimbulkan kajian ilmiah yang menarik di kalangan ilmuwan dan
konservasionis, karena jenis ini bukan termasuk tumbuhan asli dari Gunung
Merapi.
Dalam segi
Ilmu Budaya, orang Jawa yang tinggal di lereng Gunung
Merapi agaknya tidak bisa mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan
bahasa teknis yang lugas seperti istilah fertilitas
tanah kaitannya dengan abu vulkanik letusan Gunung Merapi (Purwadi, 2014). Akan tetapi
secara masuk akal mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan fertilitas itu,
yang disediakan dari mitos dan ritual adat.
Kearifan lokal
masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur yang diwariskan oleh nenek
moyang. Pewarisan nilai seni budaya tersebut berlangsung secara turun temurun
(Purwadi, 2014). Masyarakat Merapi
juga termasuk masyarakat tangguh. Paska erupsi, pemukiman cepat tumbuh kembali,
masyarakat kembali antusias membangun dan mengembangkan desa.
Pengetahuan
masyarakat pada mitigasi bencana alam semakin meningkat. Beberapa desa sudah
terbentuk Sekolah Siaga Bencana (SSB). Pelajar tingkat Taman Kanak-Kanak (TK)
hingga SMA dilatih mitigasi bencana. Bahkan sekolah di luar Merapi juga
menyempatkan untuk belajar SSB. Akhirnya wisata yang berkembang juga wisata
berbasis mitigasi bencana alam.
Wisata alam
yang terkenal adalah Touring Jalur Lava
Merapi menggunakan Jeep. Menyusul kemudian wisata pendakian. Alhasil Balai
TNGM juga meningkatkan kemampuan dalam bidang SAR (Search And Rescue) bagi petugasnya dan masyarakat. Untuk bidang SAR
sudah terbentuk 2 kelompok SAR yang sudah dapat diandalkan dan menjadi mitra
penting TNGM, yakni SAR Barameru dari Desa Lencoh, Selo, Boyolali; dan SAR 12
dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.
Erupsi Merapi
tahun 2010 membawa pelajaran yang sangat berharga. Ekosistem
Merapi ternyata jauh lebih indah dan
kompleks. Jika Balai TNGM selaku pengelola kawasan TNGM
mampu menghilangkan hambatan dan menyediakan lingkungan yang sesuai, potensi
untuk berkembang menjadi luar biasa. Wallahu’alam.