Pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) bersama
relawan dan masyarakat sejak Rabu (19/8) sibuk menangani kebakaran hutan.
Bahkan Kamis malam (20/8) dari CCTV stasiun pengamatan BPPTKG di Ngepos titik
api mulai temu gelang. Saat semuanya fokus pada penanganan kebakaran, perlu
juga memperhatikan dan siaha penanganan satwa liar yang ada di TNGMb.
Lokasi kebakaran yang terjadi pada ketinggian
1700-2000 m dpl adalah kawasan habitat primata yang dilindungi seperti Lutung hitam (Tracypithecus auratus), Lutung kelabu (Presbytis fredericae), serta mamalia seperti Kijang (Muntiacus muntjak), Musang (Herpates javanica), Landak (Histrix sp.), Luwak (Paradoxurus hermaproditus) dan Macan Tutul (Panthera pardus). Satwa liar tersebut sangat peka, dan akan
melakukan migrasi untuk menyelamatkan diri.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 25 Agustus 2015
Sebagai Khalifah
fil Ardh manusia harus melindungi makhluk-makhluk lain atau satwa secara bijak karena mereka bermanfaat
bagi keseimbangan sistem kehidupan di muka bumi. Makhluk hidup apa pun
merupakan mata rantai ekosistem kehidupan yang satu sama lain saling
membutuhkan. Peter H. Raven
mengatakan bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10
sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis
lainnya.” Berangkat
dari perspektif inilah, kita juga
perlu memperhatikan dan menyelamatkan satwa liar di wilayah itu.
Taman
Nasional Gunung Merbabu ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 135/Kpts-II/2004 dengan luas 5.725 ha (Departemen Kehutanan, 2007) merupakan salah satu taman nasional di Pulau Jawa yang menghadapi
tekanan penduduk di sekitarnya. Taman nasional ini dikelilingi oleh 36 desa dengan
penduduk berjumlah 121.513 jiwa dari 32.633 rumah tangga (Balai TNGMb, 2009). Selain potensi satwa liar, kawasan
hutan TNGMb juga merupakan daerah tangkapan air yang penting.
Kawasan
TNGMb
merupakan hulu 17 sungai di Kabupaten Magelang, 7 sungai di Kabupaten Boyolali dan 8 sungai di Kabupaten
Semarang. Di kawasan TNGMb juga banyak terdapat mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitarnya, antara lain Tuk Sipenduk (Kec. Ampel, Kab. Boyolali), Tuk Babon
(Kec. Selo,
Kab. Boyolali),Umbul Songo (Kec. Getasan, Kab. Semarang), Simuncar (Kec.
Ampel, Kab. Boyolali), Teyeng (Kec. Kedakan Kab. Magelang), Kali Soti (Kec. Kenalan, Kab. Magelang),Tuk
Sikendil (Kec. Kesingan, Kab. Magelang), Tuk Kenteng (Kab.
Semarang),Tuk Kali Pasang (Kab. Semarang), Tuk Padas (Kab. Semarang), Tuk Jaran Mati (Kab. Boyolali),Tuk Geded (Kab. Semarang) (Balai TNGMb, 2009).
Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun
2010, melalui
naluri alamnya yang tajam, banyak satwa liar yang turun gunung untuk
menyelamatkan diri. Primata
jenis Monyet ekor panjang (Maccaca
fascicularis) dari Gunung Merapi melakukan migrasi ke Gunung Merbabu. Aliran sungai DAS Pabelan
dengan vegetasi riparian potensial menjadi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merbabu ke
Merapi, tepatnya
di kawasan
Desa Lencoh, Kec. Selo, Boyolali.
Penelitian Marhaento dkk (2010) menunjukkan bahwa areal yang dicadangkan
untuk koridor jalur migrasi satwa Merapi-Merbabu sudah padat pemukiman, jaringan jalan dan pertanian
intensif, maka pembuatan koridor menemui kesulitan. Hasil kajian Gunawan, dkk
(2012) luas areal koridor yang harus di-hutan-kan adalah seluas ± 394,91 Ha.
Sementara jarak yang harus ditempuh satwa dari Gunung Merapi sampai Gunung
Merbabu atau sebaliknya adalah sekitar 6,95 km.
Jarak ini harus ditempuh dengan
menyeberangi jalan raya alternatif Boyolali-Magelang. Oleh karena itu, ke depan perlu dipikirkan adanya penyeberangan
satwa, baik melalui kolong jembatan maupun di atas jalan. Penyeberangan di kolong jembatan
tampaknya lebih memungkinkan. Koridor selebar 200 meter sebenarnya masih kurang
memberikan rasa aman kepada satwa yang bersifat sensitif terhadap aktifitas
manusia atau jenis-jenis satwa interior, namun mengingat koridor ini
diperuntukan bagi keadaan darurat, maka diharapkan bisa menjadi sarana
penyelamatan bagi satwaliar saat kebakaran hutan maupun erupsi.
Koridor dengan lebar 200 m ini
kemungkinan digunakan oleh satwa pada malam hari, dimana kondisi sekitarnya
sepi dari aktifitas manusia (Marhaento dkk, 2010). Mengingat kepentingan jangka panjang,
pembuatan koridor ini merupakan investasi yang menguntungkan bagi pelestarian
keanekaragaman hayati di kedua taman nasional. Berdasarkan gambaran itulah, perlu dipikirkan bagaimana
cara menyelamatkan satwa
liar tersebut.
Balai TNGMb, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Pemerintah Propinsi dan Daerah perlu membuat daerah penyangga
di sekitar Merbabu maupun
Merapi, serta membuat jalur khusus atau jalur hijau
sebagai koridor untuk migrasi satwa-satwa tersebut ke daerah penyangga. Disamping itu juga dilakukan
sosialisasi kepada masyarakat bagaimana sikap mereka untuk mengamankan dirinya bila
berhadapaan dengan satwa liar yang berbahaya dan bagaimana membantu mengamankan
satwa liar tersebut. Wallahu’alam bi
showab.