“Kita sandarkan perjuangan kita sekarang ini atas dasar
kesucian, kita yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan melalaikan hamba-Nya
yang memperjuangkan sesuatu yang adil berasaskan kesucian bathin. Jangan cemas,
jangan putus asa, meski kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran dan
menderita segala kekurangan, karena itu kita insya Allah akan menang, jika
perjuangan kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan.
Ingatlah pada firman Tuhan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran
ayat 138 yang berbunyi: “Walaa tahinu
walaa tahzanuu, Wa antumul a’launa inkuntum mu’minin”, yang artinya
“Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah hati sedang kamu
sesungguhnya lebih baik jika kamu mukmin.”
Dengan penuh keyakinan sang Jenderal menyiapkan pasukannya.
Kutipan ayat-ayat suci itu bukanlah pemanis bibir untuk mendongkrak
popularitas. Kalimat agung itu hanya akan mampu dilahirkan oleh orang yang
meyakininya. Pesan Rabbaniyah itu mengiringi seruan mobilisasi dalam menghadapi
kekuatan Belanda, pada agresi kedua.
Dua jam sebelum pendaratan (Belanda, red), Panglima Besar
TNI Jenderal Soedirman yang masih berumur 30 tahun, membangunkanku. Setelah
menyampaikan informasi yang diterimanya terlebih dahulu, dia mendesak, “Saya
minta dengan sangat, agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak
meninggalkan kota dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya.”
Sambil mengenakan pakaianku cepat-cepat aku berkata:
“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan
pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah pelarian bagi saya. Saya
harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin
rakyat kita semua. Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika
Bung Karno tetap tinggal di sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua
hal ini saya menghadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut.
Anak-anak kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara
yang beradab, akan tetapi …”
Soedirman mengepalkan tinjunya: “…Kami akan peringatkan
kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Sukarno, bagi mereka tak ada ampun
lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran.” Soedirman melangkah ke
luar dan dengan cemas melihat udara. Ia masih belum melihat tanda-tanda, “Apakah
ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?” tanyanya.
“Ya, jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita
tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman,
dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan
tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lurah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di
setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta”.
“Sekali pun kita harus kembali pada cara amputasi tanpa obat
bius dan mempergunakan daun pisang sebagai perban, namun jangan biarkan dunia
berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat.
Perlihatkan kepada dunia bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal,
dengan darah, keringat dan tekad yang tak kunjung padam. Dan jangan ke luar
dari lurah dan bukit hingga Presidenmu memerintahkannya. Ingatlah, sekali pun
para pemimpin tertangkap, orang yang di bawahnya harus menggantikannya, baik ia
militer maupun sipil. Dan Indonesia tidak akan menyerah!”
Itulah dialog yang terekam saat detik-detik agresi militer
Belanda tanggal 19 Desember 1948, Sukarno menuturkan kepada Cindy Adams dalam
biografinya.
Perlu diketahui bahwa pada saat memimpin perang gerilya
paru-paru sang Jenderal hanya berfungsi sebelah atau hanya satu paru-paru yang
bisa dijadikan tumpuan dalam setiap tarikan nafas sang Jenderal. Dan sebenarnya
Presiden Sukarno pada waktu itu menyarankan agar Jenderal Soedirman menjalani
perawatan saja karena penyakit Jenderal Soedirman pada waktu itu tergolong
parah.
“Yang sakit itu Soedirman…panglima
besar tidak pernah sakit….” Itu jawaban sang Jenderal. Tidak terbayangkan begitu
besarnya semangat perjuangan sang Jenderal dalam melawan musuh dan penyakit
yang dideritanya.
Kaji Soedirman, seorang Jenderal Besar dengan pakaian Kyai tetapi tetap dihormati oleh
pasukan TNI dan dicintai rakyat Indonesia.
Dengan berbekal materi seadanya Sang Jenderal memimpin
pasukannya berperang melawan tentara sekutu yang diboncengi tentara Belanda.
Dengan ditandu Jenderal Soedirman keluar masuk hutan, naik dan turun gunung
memimpin pasukan, meracik strategi perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh
bulan lamanya dengan rute Yogyakarta sampai Malang. Kisah menarik terjadi pada
waktu Jenderal Soedirman memimpin peperangan dan terjadi pengkhianatan dari
salah satu anggota pasukannya.
Tentara Belanda menggunakan berbagai cara untuk menjebak dan
menangkapnya. Jenderal yang ahli strategi ini adalah target operasi yang paling
diburu waktu itu. Setelah Belanda mendapatkan informasi dari salah satu
penghianat di internal pasukan Jendral Soedirman. Belanda kemudian mengepung
keberadaan Jenderal Soedirman.
Menyadari kondisinya dalam keadaan terjepit, Sang Jenderal
tidak kehilangan akal. Seluruh anak buahnya diperintahkan memakai sarung dan
peci, lalu dibuatlah scenario seolah-olah dalam ruangan itu tengah mengadakan
pengajian. Taktik ini digunakan untuk mengelabui Belanda yang akan menangkap
dirinya.
Pada saat salah seorang pimpinan Belanda memasuki ruangan
dan bertanya di manakah keberadaan Sang Jendral, maka informan Belanda yang
turut hadir dalam ruangan itu –selama ini tidak diketahui keberadaan pengkhianat
ini– turut serta pula mengikuti taktik Sang Jenderal, berdiri dan menunjuk ke
arah Jenderal Soedirman (Pada waktu itu berpura pura menjadi seorang kyai yang
memimpin pengajian). Namun komandan Belanda itu tidak mempercayai kalau yang
memimpin pengajian itu adalah Jenderal Soedirman sendiri,
Karena dinilai memberikan informasi palsu, akhirnya si
pengkhianat malah ditembak di tempat oleh komandan Belanda tersebut. Kemudian
mereka pergi dengan meninggalkan persembunyian Sang Jenderal dan anak buahnya.
Maka selamatlah Jenderal Soedirman dan pasukannya. Sebuah taktik brillian dan
pengambilan keputusan yang tepat dari Sang Jenderal. Strategi perang gerilyanya
terbukti efektif dalam memimpin pasukan melawan penjajah. Banyak kerugian yang
diderita pasukan penjajah dalam taktik gerilya ini.
Pemerhati Komunisme, KH Muh Jazir ASP mengungkapkan bahwa
diantara para pejuang dan pahlawan nasional yang belum pernah ditangkap oleh
penjajah Belanda, Inggris dan juga PKI atau kelompok Komunis pada zaman
revolusioner adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Bahkan beberapa kali
para petinggi penjajah Belanda, Inggris dan juga PKI mengeluarkan keputusan dan
mengerahkan pasukan untuk menangkap Jenderal Soedirman hingga terkepung, mereka
tidak juga bisa menangkap Jenderal Soedirman.
Dengan fenomena tersebut, orang-orang yang memanggul
Jenderal Soedirman, seperti Suparjo, Rustam, Joko Pranolo sampai kaget dan
terheran-heran. Sebab, pada saat itu Jenderal Soedirman sedang dalam kondisi
sakit. “Bahkan pada waktu Jenderal Soedirman dikepung oleh tentara Inggris di
sekitar Jambu, disitu kan ada sebuah pegunungan dan Jenderal Soedirman beserta
pasukannya ada ditengah-tengah, tapi nyatanya Jenderal Soedirman bisa lolos
dari pengepungan,” ungkap KH Jazir.
“Bahkan sampai herannya, Rustam, Suparjo dan yang lainnya
yang memanggul Jenderal Soedirman ini bertanya. Sebenarnya jimat apa yang
dipakai Mas Kyai Soedirman ini sehingga selalu lolos dan tidak bisa ditangkap
oleh Belanda dan PKI. Lalu dengan senyum kecil, Jenderal Soedirman menjawab,
iya, saya memang pakai jimat,” ujarnya.
“Dan jimat saya adalah, saya berperang selalu dalam keadaan
wudhu. Jadi yang pertama Jenderal Soedirman itu selalu bersuci sebelum memulai
peperangan. Makanya, kalau kita menyusuri jejak perjuangan dan pemberhentian
pasukan Jenderal Soedirman, disitu kita akan mendapati adanya sebuah padasan, yang
fungsinya untuk berwudhu Jenderal Soedirman,” jelas KH Jazir.
“Kemudian yang kedua, jimat Jenderal Soedirman
adalah sholat diawal waktu. Jadi dalam kondisi apapun, meskipun sedang pecah
perang, Jenderal Soedirman tidak pernah meninggalkan sholat wajib diawal
waktu,” imbuhnya.
“Dan yang ketiga, Jenderal Soedirman berkata
bahwa aku mencintai rakyatku sepenuh hati. Bahkan jika Jenderal Soedirman
membawa perbekalan makanan disaat perang, lalu singgah disuatu tempat, maka
para pasukannya itu disuruh memberikan makanan itu kepada warga terlebih
dahulu,” ucapnya.
Sebagai seorang Ustadz yang terpanggil untuk berjuang
membebaskan dan mempertahankan kemerdekaan negerinya, jenderal Soedirman
meyakini jika perjuangan ini merupakan jihad fi sabilillah, melawan kaum kafir.
Sebab itu, dalam situasi yang paling genting sekalipun, Soedirman tetap
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Selain ibadah wajib, seperti
sholat lima waktu, Soedirman juga sering menunaikan Qiyamul-lail dan puasa
sunnah.
Jenderal Soedirman selalu menjaga ibadah-ibadahnya. Bahkan dalam keadaan yang
sangat berbahaya bagi jiwanya. Dalam gerilya di selatan Yogya dalam perang
kemerdekaan, Soedirman yang dalam kondisi sakit selalu menjaga sholatnya juga
sholat malamnya. Bahkan tak jarang dia juga berpuasa Senin-Kamis. Di setiap
kampung yang disinggahinya, dia selalu mendirikan pengajian dan memberikan
ceramah keagamaan kepada pasukannya.
Kabar keshalihan Soedirman ini sampai ke seluruh penjuru
Nusantara. Sebab itu, para pejuang Aceh yang juga meyakini jika perang
kemerdekaan merupakan jihad Fisabilillah, begitu mendengar panglimanya yang
shalih ini sakit, mereka segera mengirim bantuan berupa 40 botol obat suntik
streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau.
Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan
langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal
Soedirman yang dicintai rakyat menghadap Sang Khalik tanggal 29 Januari 1950,
tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari
umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat.
#sumber cerita dari www.dakwatuna.com dan www.panjimas.com, sumber gambar dari www.mediaprabowo.com
#diolah untuk buletin KUBAH MERAPI Edisi 4 Bulan Juni 2015