*Artikel ini ditulis oleh mas Arif Wibowo dari note di FBnya, semoga bermanfaat!
“Dallikal,
yen turu nyengkal wadine nyengkal, tegesipun kitabulla, natap mlebu ala wadi,
tegese rahabapi, rahaba kang gawe sampur, hudan lil muttakina, yen wis wuda
jalu estri, den mutena jroning ala-jroning ala “(Darmagandhul).
(Dzalikal : jika tidur kemaluannya
nyengkal (bangkit), kitabu la, kemaluan lelaki masuk di kemaluan
perempuan dengan tergesa-gesa, raiba fihi : perempuan yang pakai kain,
hudan : telanjang (wuda), lil muttaqien : sesudah telanjang,
kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita (diterjemahkan oleh Prof. Dr.
H.M. Rasyidi dalam Islam dan Kebatinan, hal. 17)
Menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan adalah
ciri utama dalam serat Darmagandul, sebuah sastra anonim yang ditulis abad
Misi, sebuah masa dimana politik asosiasi atau yang lebih tepat westernisasi
dan politik kristenisasi berjalan sangat intens. Istilah-istilah kunci dalam
agama Islam, diputar balikkan maknanya oleh Darmagandhul dengan metode othak-athik
gathuk seperti istilah sadat sarengat (syhadat dan syari’at) di
artikan dengan yen sare wadine njengat (kalau tidur kemaluannya
berdiri), tarekat itu taren kang estri (mengajak istri
bersetubuh), sedangkan lafal Muhammad diartikan sebagai makam, kuburan segala
rasa, yang berarti memuja diri sendiri, bukan memuji Muhammad yang lahir di
tanah arab.
ngaji wonten Deles, Merapi
Selain Darmagandul, juga ada serat Gatoloco, dimana
dalam serat yang juga anonim ini, istilah-istilah inti dalam Islam diasosiasikan
dengan hal-hal yang bersifat cabul. Seperti kata Allah diartikan ala, yang
rupanya jelek, yang dimaksud adalah wujud kemaluan laki-laki, sedangkan naik
haji ke Mekah diartikan sebagai proses persetubuhan dimana poisisi istri saat
bersetubuh mekakah (Rasjidi, 1967 : hal. 9-39).
Merebaknya sastra anonim di kalangan elit Jawa,
tidak terlepas dari kekalahan Pangeran Diponegoro pada perang Jawa 1825 – 1830.
Meskipun Belanda memenangkan perang besar ini, namun biaya yang ditanggung
sangat besar. Kondisi keuangan Kerajaan Belanda hampir bangkrut karenanya.
Untuk menutupi kerugian tersebut, pemerintah Belanda menerapkan kebijakan
politik tanam paksa (Cultuur Stelsel). Sistem tanam paksa mengharuskan
para menanami seperlima lahan yang dimiliki dengan tanaman komersial yang sudah
ditentukan pemerintah Belanda.
Untuk menjalankan politik tanam paksa ini,
pemerintah kolonial Belanda menaikkan derajat para bupati mejadi ningrat,
dengan syarat para bupati harus melaksanakan kehendak residen Belanda.
Sedangkan penduduk pribumi dituntut kepatuhan mutlak sebagai budak (Kahin, 2013
: 12). Belanda menangguk untuk yang besar dengan politik tanam paksa ini, utang
VOC sebesar 35.500.000 gulden berhasil dilunasi, bahkan kas negeri Belanda
bertambah sebesar 664.500.000 gulden.
Proses penganakemasan kalangan bupati dan para
ningrat yang lazim disebut priyayi ini, akhirnya menjadikan para priyayi
sebagai kelas tersendiri dalam masyarakat Jawa. Bukan hanya kelas sosial tetapi
juga orientasi spiritualnya. Berkaca dari kekalahan Pangeran Diponegoro, bagi
para priyayi tersebut, menandakan takluknya seluruh Jawa kepada pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sehingga ketaatan bukan lagi tertuju pada kewibawaan
Islam, melainkan kepada apa yang disebut kewibawaan Kristen (Akkeren, 1995 :
56).
Benih-benih sentimen anti Islam pun mulai
bermunculan. Para priyayi tersebut beranggapan bahwa peralihan keyakinan
masyarakat Jawa ke agama Islam Islam adalah sebuah kesalahan peradaban dan
bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada penggabungan
pengetahuan modern ala eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu Jawa. Apa yang
menjadi pandangan kaum priyayi Jawa tersebut berasal dari Snouck Hurgronje,
dimana menurut Snouck dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam
di Indonesia bisa disingkirkan atau sedikitnya dikurangi. Pendidikan juga akan
menghilangkan jarak kultural orang Belanda dengan para bangsawan dan kaum
aristokrat Indonesia. Selain itu posisi mereka yang relatif “bersih” dari
pengaruh Islam, para priyayi tersebut merupakan kelompok sosial yang paling
cocok untuk ditarik masuk ke dalam orbit kebudayaan Barat dan dijadikan sebagai
rekanan (Shihab, 1998 : 86)
Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud
paling agung dari kebudayaan tersebut, Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1870-an
para penulis dari Kediri meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya
sastra yang mengagumkan, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco dan Serat Darmogandhul,
yang merendahkan dan mengolok-olok Islam. Karya yang disebut terakhir ini meramalkan
bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan
Majapahit –ini mungkin ditulis untuk memperingati sebuah sekolah milik
pemerintah bagi kaum elite di Probolinggo pada tahun 1878, atau 400 tahun
setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini dan bahkan
orang Jawa akan menjadi pemeluk Kristen. (Ricklefs, 2012 : 53-54).
Pemilihan Kejawen bukannya Kristen sebagai jalan
spiritual oleh para priyayi tersebut disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa
pada umumnya, kekristenan identik dengan penjajahan yang menyengsarakan rakyat
banyak. Orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh dengan ungkapan londo wurung
jowo tanggung (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung/tidak sepenuhnya
menjadi orang Jawa, lali jawane (orang jawa yang lupa akan kejawaannya), dan
sebagainya. Mereka juga sering dijuluki toewan gendjah (tuan yang belum matang)
(Aritonang, 2006 : 99). Agar tidak berhadapan dengan masyarakat pada umumnya,
para priyayi tersebut menolak untuk dikristenkan, seperti yang digambarkan
Ricklefs,
“Sekitar tahun 1870, seorang Bupati menegaskan
komitmennya untuk tetap memeluk Islam dalam pengertian yang lebih
instrumentalis daripada spiritual. Dia telah menunjukkan antusiasismenya
terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Karenanya seorang kenalan Belanda
bertanya kepadanya, bilakan ini berarti bahwa dia akan beralih menjadi Kristen.
Bupati tersebut menjawab, “Ah, ..... sejujurnya, saya lebih senang memiliki
empat orang istri dan satu Tuhan dariapada satu istri dan tiga Tuhan.”
(Ricklefs, 2012:52)
Sastra Kejawen, Penginjilan Jalan Memutar
Sistem tanam paksa dijalankan pada era Gubernur
Jendral Van den Bosch. Selain sebagai gubernur, ia juga merupaka ketua di Nederland
Bijbelgenootschap. Pada tanggal 27 Februari 1932, Van den Bosch mendirikan
Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa). pada 27
Februari 1832. Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga
ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke
dalam Bahasa Jawa. (Simbolon, 2007 :127).
Lembaga ini merupakan tempat berkumpul para
ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh
menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang
di kalangan orang Jawa. Para Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno
(Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda
lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa
lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui
screening pemikiran Javanolog Belanda (Shiraishi, 1997 : 7-9)
Apa yang dilakukan oleh para Javanolog Belanda
dalam mengolah sastra Jawa tersebut mirip dengan kisah pertemuan Flaubert
dengan Kuchuk Hanum, pelacur Mesir yang dikisahkan oleh Erward Said, dalam magnum
opusnya, Orientalisme. Sastra Jawa sekedar menjadi boneka timur para
Javanolog, dan semuanya dibuat tanpa ada kesepakatan bersama. Kuchuk Hanum, si
pelacur, tidak pernah berbicara tentang dirinya, tidak pernah mengungkapkan perasaannya,
kehadirannya, atau riwayat hidupnya kepada Flaubert. Akan tetapi, kondisi
Kuchuk Hanum yang lemah dan miskin secara material tidak berdaya, menjadikan
Falubertlah yang justru berbicara atas nama dan mewakili dirinya. (Said, 2010 :
8) Kartini memandang resah fenomena ini, sebagaimana tertuang dalam salah satu
suratnya kepada temannya di Eropa.
“Ada banyak, ya banyak, pejabat (Belanda) yang
membiarkan para pemimpin pribumi mencium kaki dan dengkul mereka. Dalam banyak
cara yang halusm mereka menjadikan kami merasa bahwa kami berbeda dari mereka.
Seakan-akan mereka berkata “Saya orang Eropa, kamu orang Jawa,” atau “Saya
tuan, kamu hamba.” Dan bahkan banyak orang Belanda yang tidak begitu suka
berbicara kepada kami dalam bahasa mereka. Bahasa Belanda terlalu indah untuk
diucapkan oleh mulut berwarna coklat” (Alwi Shihab, 1998 : 96)
Dan arah dari sastra anonim seperti Darmagandhul
ini, oleh Susiyanto, dosen IAIN Surakarta yang meneliti serat Darmagandul
menunjukkan beberapa paragraf yang secara eksplisit mencita-citakan kekristenan
orang-orang Jawa.
Serat ‘Arab djaman wektu niki,sampun mboten
kanggo,resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, Serate Djeng
Nabi,Isa Rahu’llahu.(Anonim, 1955:6) yang artinya Serat Arab jaman waktu
ini sudah tidak terpakai, hukumnya meresahkan dan tidak adil, yang digunakan
untuk memutusi perkara Serat Kanjeng Nabi Isa Rahullah. ”Wong Djawa ganti
agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh, ....”(Anonim,
1955:93). Yang artinya, “Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan
Islam, berganti (menganut) agama kawruh (agama budi, nasrani)”
Kecenderungan menjadikan Islam sebagai bahan hinaan
dalam karya sastra, memang ciri khas orientalis yang pada abad XVII – XIX yang
didominasi kalangan teolog Kristen. Di Eropa misalnya, kita bisa
mengambil contoh karya Dante, The Divine Comedy. Maometto –Muhammad-
oleh Dante ditempatkan pada lapisan kesembilan dan sepuluh lapisan Bogias
of Maleboge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka.
Dalam pandangan Dante, Muhammad dikategorikan penyebar skandal dan perpecahan,
dengan hukuman tubuhnya terus menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus,
bagaikan, kata Dante, sepotong kayu yang papan-papannya dirobek-robek. (Said,
2010 : 101-102).
Penutup
Meskipun sebagai sastra
anonim yang tentu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan, akan tetapi sampai
hari ini, baik Darmagandul maupun Gatoloco masih terus direproduksi. Bukan
hanya bukunya yang terus mengalami cetak ulang, namun tasfir atas kedua serat
tersebut juga ditulis oleh banyak pihak. Pebenturan antara Jawa dengan Islam
dalam kedua serat tersebut, menjadi patokan dalam karya-karya para misionaris
seperti Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial,
dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis
Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono.
Hal ini menurut Azyumardi Azra merupakan strategi
misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia. Dengan menggali unsur
pra Islam dalam kebudayaan lokal, untuk kemudian memisahkannya secara
oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa,
mengikuti argumen William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan
hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi
peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris (Steenbrink, 1995 :xxii).
Namun, sayangnya, bidang sastra dan kebudayaan,
menjadi anak tiri dalam wacana dakwah Islam. Umat Islam, baik awam maupun para
cendekiawannya, tidak mempunyai skema relasi Islam dengan kebudayaan lokal,
ataupun strategi Islamisasi kebudayaan sebagaimana para pendahulunya. Dari hari
ke hari, kebudayaan Jawa makin menjauh dari kaum muslimin, sehingga dari hari
ke hari, kebudayaan makin menjadi milik kaum Kejawen dan Kristen. Proses
kreatif Islamisasi budaya Jawa seperti mandeg, Kemandegan ini akan merugikan
dakwah Islam di tanah Jawa. Karena itu, dakwah di bidang kebudayaan harus
menjadi agenda serius mulai sekarang, bila umat Islam tetap ingin sebagai tuan
rumah di tanah Jawa.
Boyolali, 12-Januari-2014
Daftar Pustaka
Alwi Shihab, Membendung Arus, Respon
Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung :
Mizan, 1998)
Anonim, Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri :
Penerbit Tan Khoen Swie, 1955)
Erdward Said, Orientalisme, Menggugat Hegemoni
Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2010).
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan
Revolusi Indonesia, (Jakarta : Komunitas Bambu, 2013)
H.M. Rasjidi, Prof. Dr, Islam dan Kebatinan, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1967)
Jans Aritonang, Pdt. Dr, Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006)
Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung : Mizan,
1995)
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah
Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta
: Serambi, 2013)
Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia,
Cetakan III, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 20017)
Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus,
Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi di Jawa Timur, (Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 1995)
Susiyanto (Tesis), Misi Kristen dan Orientalisme
dalam Serat Darmagandhul, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010).
Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme
Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997).