Alam adalah Titipan
Tuhan
Belajar
dari bencana alam yang cukup sering terjadi di Negara ini, sebetulnya dalam
agama Islam mengajarkan untuk hidup berharmoni dengan alam. Dalam Al Qur’an,
Tuhan menyatakan bahwa seluruh alam semesta adalah milik-Nya (Q.S. Al Baqarah,
2:284). Manusia diberi izin tinggal di dalamnya unutk sementara dalam rangka
memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan ditetapkan Tuhan (Q.S. Al Ahqaf,
46: 3). Dengan begitu alam bukanlah milik hakiki manusia.
Kepemilikan
manusia hanyalah amanat, titipan atas pinjaman yang pada saatnya harus
dikembalikan dalam keadaannya seperti semula. Bahkan manusia yang baik justru
akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika
dia menerimanya. Nabi mengatakan: “Sebaik-baik
kamu adalah yang terbaik dalam mengembalikan utangnya.” Titipan yang
dikembalikan tersebut selanjutnya akan didistribusikan kembali bagi orang atau
generasi sesudahnya sampai hari kiamat.
Dalam
ayat lain Tuhan juga mengecam manusia yang merusak alam. Dia sangat tidak
menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi (Q.S. Al Baqarah,
2:60, 205; Al A’raf, 7:56, 85; Al Qashash, 28: 88; Al Syu’ara, 26: 183
dll)(Muhammad, 2005). Tindakan merusak alam merupakan bentuk kedzaliman dan
kebodohan manusia.
Al
Quran juga menggambarkan kebinasaan ummat terdahulu akibat tindakan merusak
alam. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan
perbuatan dosa dan kemungkaran. Siapa saja yang menyaksikan tindakan tersebut
berkewajiban menghentikannya. Negara sebagai pengawas alam berkewajiban
menyeret pelakunya ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Opini Tribun Jogja tanggal 7 Januari 2015
Memelihara Alam
Islam
menuntut manusia untuk menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif (ihya al mawat) dengan menanaminya pepohonan,
bukan hanya untuk kepentingan manusia hari ini tetapi juga untuk generasi
manusia masa depan.Tuntutan ini tidak hanya untuk setiap individu hari ini,
tetapi berlaku sepanjang masa sampai menjelang kiamat. Sebuah hadist
menyatakan, “Jika tiba waktunya hari
kiamat, sementara di tanganmu masih ada biji kurma, maka tanamlah segera.”
(HR Ahmad)
Selain
itu, Islam juga menganjurkan bahwa desa dan kota harus dikelilingi oleh zona
larangan (al-harim) yang merupakan
lahan penyangga yang tidak boleh diganggu atau didirikan bangunan (Mangunjaya,
2009). Di Indonesia, sistem harim
dijumpai pada Kesultanan Aceh, pada zaman Sultan Iskandar Muda. Abdurraman Kaoy
mencatat kebijakan harim untuk
perawatan sungai dan pantai ditetapkan: (1) Dilarang menebang hutan sejarak
1.200 depa (2 Km) keliling sumber mata air; (2) Dilarang menebang pohon sejarak
60-120 depa (100-200m) dari kiri kanan sungai; (3) Dilarang menebang pohon
sejarak 600 depa (1 Km) dari pinggir laut (Mangunjaya, 2009).
Sebuah
tantangan besar bagi peradaban kita sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan
kembali hati dan akal masyarakat kita, membangun spiritualitas sebagai mitra
dialog dengan sains. Untuk menjawab tantangan ini, tradisi agama-agama dunia
perlu mengintensifkan keterlibatan mereka dalam isu-isu lingkungan dan
pembangunan. Perlu ditekankan tentang pentingnya perumusan kembali hubungan
Manusia, Alam, dan Tuhan yang harmonis berdasarkan wawasan spiritualitas dan
kearifan perennial. Wallahu’alam.
mas sulfie..
BalasHapusbagi2 tips dong biar tulisannya bisa dimuat di media.. :D
tips ada disini:
Hapushttp://arif-sulfiantono.blogspot.com/2013/08/tips-menulis-di-media-massa-koran.html
monggo isi blog ini bisa dilihat2, semoga bermanfaat :-)