Isu perubahan iklim (climate change) telah mengalami
transformasi dari isu global menjadi isu strategis nasional, dan beranjak ke
isu tingkat daerah. Semua daerah sudah merasakan dampak dari perubahan iklim,
yakni kenaikan suhu udara dan kekeringan. Jika kondisi ini tidak
diatasi bersama maka konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dapat dipastikan gagal.
Gagal
karena indikator sustainability tak
tercapai, antara lain dicirikan semakin meningkatnya jumlah, frekuensi, dan
meluasnya bencana di Indonesia (Sudibyakto, 2014). Untuk mengurangi dampak dari
perubahan iklim, Badan Pengelola Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation (BP REDD+) Indonesia
bersama Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia pada
tanggal 10 – 11 Nopember 2014 di Yogyakarta, mengadakan
pertemuan tingkat regional se-Jawa dan Bali-Nusa Tenggara untuk mensinergikan
peranan para akademisi, para praktisi lingkungan, dan pemerintah setempat dalam
menyusun rencana kerja nyata. Tema yang diangkat adalah ‘Integrasi isu
perubahan ke iklim ke dalam pembangunan daerah”. Pertemuan ini sebagai
persiapan temu nasional dan launching APIK Indonesia pada tanggal 18-19
Nopember 2014 di Jakarta
APIK-Indonesia merupakan forum prakarsa BP REDD+ (lembaga
setingkat Kementerian yang dibentuk Presiden RI tahun 2013) yang dibentuk tahun
ini untuk menjalin komunikasi dan sinergi antara para akademisi, peneliti dan
para praktisi perubahan iklim dan lingkungan yang ada di Indonesia. Peran APIK
Indonesia adalah menjadi pemain ‘think tank’ yang dapat bersinergi
dengan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam mendorong upaya mitigasi
tersebut, juga sebagai penghubung informasi terhadap hasil-hasil penelitian dan
ketersediaan ahli terkait dengan perubahan iklim dan pengelolaan hutan
(Masripatin, 2014).
Di tingkat daerah seperti Pulau Jawa yang memiliki permasalahan
ledakan penduduk dan penurunan daya dukung lingkungan, menjadi sangat rawan
terhadap dampak perubahan iklim.
Kenyataan ini mendorong mitigasi perubahan iklim merupakan hal penting
untuk diarus-utamakan dalam rencana pembangunan (Karuniasa, 2014). Banyaknya
persoalan lingkungan yang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan ekologi
memberikan peluang kepada APIK Indonesia untuk lebih berperan dalam membuat “breakthrough” dalam memberikan sumbangan pilihan-pilihan
solusi.
Opini koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Senin 17 Nopember 2014
Peranan Hutan Masyarakat
Padatnya
penduduk dan dinamika pertumbuhan ekonomi telah menggerus sumberdaya alam di
Pulau Jawa hingga sampai kepada kondisi saat ini, menyebabkan berkembangnya
ancaman terhadap kehidupan dan pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu cara
yang efektif untuk mempertahankan daya dukung lingkungan alam ditengah-tengah
desakan kependudukan dan perubahan iklim adalah dengan memanfaatkan besarnya
jumlah penduduk untuk melakukan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas
lingkungan.
Diyakini
bahwa kegiatan-kegiatan skala kecil yang dilakukan oleh sejumlah besar anggota
masyarakat dapat memberikan dampat positif yang lebih dahsyat dibandingkan mega
proyek berteknologi tinggi yang mengandung resiko ekonomi-sosial-politik dan
lingkungan yang tidak kecil. Kegiatan-kegiatan berbasis masyarakat juga dapat
memberikan dampak langsung terhadap upaya peningkatan kesejahteraan.
Sangat
menarik yang dilakukan LSM Arupa dalam pembelajaran perubahan iklim pada
masyarakat DesaTerong, Kecamatan Dlingo, Bantul, mereka punya budaya untuk
menebang dan menjual pohonnya yang belum siap tebang, karena tuntutan kebutuhan
yang mendesak. Dampak dari budaya ‘Tebang
Butuh’ ini adalah turunnya nilai kayu, ancaman kelestarian hutan hingga
perubahan iklim dalam jangka panjang..
Oleh
sebab itu, masyarakat Desa Terong membentuk Koperasi Tunda Tebang (KTT) Jasema
untuk menjawab permasalahan tersebut (Arupa, 2014). Anggota dapat meminjam
dengan maksimal pinjaman Rp 5 juta. Uniknya, anggota dapat menjaminkan pohonnya
sebagai agunan pinjaman. Pohon yang dapat dijadikan agunan adalah pohon dengan
lingkar pohon sebesar 60 cm dan beberapa jenis pohon yang terdapat di aturan
KTT Jasema (Arupa, 2014).
Diharapkan kegiatan mitigasi perubahan iklim
berbasis masyarakat model Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ‘Tunda Tebang’ ini dapat berkembang luas, sehingga dapat berperan
aktif dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
#Arif Sulfiantono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar