Hari Jumat (20
Juni 2014) pagi yang seharusnya ceria dan penuh barokah menjadi menyedihkan
saat memperoleh kabar dari teman Pakistan, Hasan.
Saat aku Tanya
tentang pelaksanaan ibadah sholat Jumat di Kedutaan Pakistan, Hasan menjawab
kalau hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan sholat jumat di Kedutaan
Pakistan.
Kemudian Hasan
mem-posting di grup Wechat untuk memberitahu kalau hari ini Kedutaan Pakistan
terakhir mengadakan ibadah sholat Jumat, menyusul Kedutaan Sudan yang sudah
lebih dulu tutup sekitar satu bulan yang lalu.
Yup, di ibukota
China ini selain masjid China, kedutaan yang membuka ibadah sholat Jumat untuk
umum adalah Kedutaan Sudan dan Pakistan.
Suasana
setelah sholat Jumat di halaman Kedutaan Sudan
Aku lebih senang
sholat Jumat di Kedutaan Sudan, karena lebih bersih dan sangat nyaman
ruangannya. Lokasinya mudah dijangkau, tinggal naik subway dan turun di stasiun
Tuanjiehu, exit A. Bacaan imamnya bagus. Bisa menjadi obat kangen kampung
halaman. Sering kali selesai sholat Jumat ada pengumuman seorang yang menjadi
Muallaf.
Pengumuman
masukkan seorang Muallaf selesai sholat Jumat
Aku bertanya
pada Hasan tentang sebabnya tutup kedua Kedutaan tersebut. Hasan menjawab ini
adalah dampak dari kerusuhan yang terjadi di provinsi Xinjiang, juga beberapa
tempat yang dilakukan oleh orang Uyghur, dari Xinjiang. Yaahh, persis sama
dengan fitnah terorisme di Indonesia. Sebab lain kata Hasan, adalah adanya misi
dari orang-orang nashara yang sangat gencar dan tidak senang pada perkembangan
Islam di China.
Dampak lain dari
isus terorisme yang difitnahkan pada muslim Uyghur, Xinjiang adalah mayoritas
masjid China dipasang pintu detector. Jadi jika akan masuk ke dalam masjid
harus melalui pintu ini. Aku sangat kaget saat mengetahui hal ini pas sholat
Jumat di masjid Haidian.
Pintu
detector di masjid Haidian
Masjid Haidian
adalah masjid terdekat dengan kampusku (± 8 Km), cukup dengan naik bus nomor
110 di depan kampus (bus stop Beijing Forestry University) selama sekitar 20 menit
sudah sampai lokasi (bus stop Beijingzhidizhenku). Masjidnya unik, berusia 300
tahun. Mayoritas imam dan penceramah di masjid-masjid Beijing bacaannya khas
orang China, kurang jelas & kurang tartil.
Penceramah/khotib
disini juga sangat diawasi oleh pemerintah. Mengingatkan pada jaman Orde Baru
akhir tahun 70an dan awal 80an, yakni saat penceramah/ustadz harus didata dan
wajib punya SIM (Surat Ijin Muballigh).
Kasus ini sekali
lagi mengingatkan aku akan materi wajib di taklim/kajian rutin, Ghazwul Fikri atau
Perang Pemikiran.
“Dan di antara manusia (ada) orang
yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka
itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
(Q.S. Lukman: 6)
Lebih jelas
tentang materini ini dapat dibaca di http://arif-sulfiantono.blogspot.com/2011/04/ghazwul-fikr-perang-pemikiran.html
Berita ini juga
aku posting di grup wechat pelajar muslim Tiongkok. Ada seorang kawan yang
memberi komentar, Indonesia buat aja sholat Jumat sendiri. Langsung aku jawab,
“kalau bisa dan berani.” Yup, dulu (15-20 tahun yang lalu) sebelum KBRI pindah
ke lokasi sekarang, KBRI punya masjid lumayan besar dan dijadikan tempat untuk
ibadah sholat Jumat. Lambat laun bubar karena tidak ada yang mengurusi.
Sambil mengingat
ayat berikut:
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus
mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S.
At-Taubah: 115)
aku berjalan
agak gontai menuju Masjid Haidian untuk menunaikan sholat Jumat ..
ditulis untuk http://lingkarpengajianbeijing.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar