Berikut ini adalah materi tentang Tips Menulis di Media Massa/Koran yang disampaikan oleh Budi Prasetyo (kolumnis/Direktur Lembaga KUTUB Yogyakarta) di I'tikaf Masjid Baiturrahim, Patangpuluhan Yogyakarta. Semoga bermanfaat!!
MEMULAI MENULIS
Banyak yang ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana
memulainya. Ada dua cara:
1. Mempelajari teori menulis baru praktik:;
2. Learn the hard way
atau menulis dulu teori belakangan.
Terserah kita mana yang lebih enak dan nyaman. Tapi,
berdasarkan pengalaman rekan-rekan yang tulisannya sudah banyak dimuat di
media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Arif Sulfiantono, Gugun el
Guyanie, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung mengirim
tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu.
Saya sendiri merasa alternatif kedua lebih enak. Ini karena
kemampuan daya serap saya terhadap teori sangat terbatas.Saya pernah mencoba
belajar teori menulis.Hasilnya? Pusing. Bukan hanya itu, bahkan dalam belajar
bahasa Inggris pun, saya cenderung langsung membaca buku, koran atau majalah.
Pernah saya coba belajar bahasa Inggris dengan membaca grammar, hasilnya sama:
pusing kepala.
Sulitkah Menulis?
Sulitkah menulis? Iya dan tidak.
Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita
anggap "santai".
Eep Saifulloh Fatah, penulis dan kolumnis beken Indonesia,
mengatakan bahwa menulis akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat
pada aturan orang lain. Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama
dengan gaya kita menulis buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita
menulis: menulis menurut gaya dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita
berhasil mengirim tulisan ke media -- dimuat atau tidak itu tidak penting,
barulah kita dapat melirik buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan
menulis kita. Jadi, tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian.
Topik Tulisan
Topik tulisan adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial
yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan Anda tentang bencana gempa dan
tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan
Anda tentang dunia pendidikan di Indonesia? Dan lain-lain.
Sekali lagi, usahakan menulis sampai 700 kata dan maksimum
1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media yang dituju. Jangan
pernah merasa tidak PeDe. Anda dan redaktur media tersebut kan tidak kenal.
Jadi' kenapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dulu, dimuat atau tidak,
urusan belakangan. Keep in mind:
Berani mengirim tulisan ke media adalah prestasi dan mendapat satu pahala.
Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi dan dua pahala.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif
Apa hubungannya menulis dengan kerendahan hati? Menulis
membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong. Karena ketika kita menulis dan
tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih banyak orang lain yang lebih
pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan yang sudah menjadi dosen yang
di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling 'wah' sehingga mendorong perasaan
kita jadi 'wah' juga alias ke-GR-an.
Nah, menulis dan mengririm tulisan ke
media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia dan
komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih
muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal. Kita
ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di saat
itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan.
Kita juga akan terbiasa menghargai orang dari isi otaknya
bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya. Di sisi lain,
membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi kompetitif.
Sekedar diketahui, untuk media seperti Republika, tak kurang dari 70 tulisan
opini yang masuk setiap hari, dan hanya 2 tulisan yang dimuat. Bayangkan kalau
Anda termasuk dari yang empat itu.Itulah prestasi. Dan dari situlah kita juga
belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan mental juara seseorang.
It's your choice: you
are either being a loser or a winner. Being a loser is easy. Just sit down in
the chair, behind your desk. And feel comfort with your hallucination of being
"a great guy" which is actually not, as a matter of fact. (Mario Gagho)
Meresapi Gaya
Kepenulisan Orang
Di bagian sebelumnya disebutkan bahwa cara terbaik memulai
menulis adalah LEARN THE HARD WAY.
Langsung menulis menurut insting, tanpa belajar teori; bak cowok atau cewek
yang rajin menulis diary kala sedang jatuh cinta. Dan langsung dikirim ke
media. Cara lain adalah dengan BANYAK MEMBACA TULISAN/ARTIKEL ORANG yang sudah
dimuat. Atau bisa juga mengamati gaya tulisan di KORAN yang dimuat tiap
harinya. Resapi tutur bahasanya.
Teliti cara pengungkapan idenya. Umumnya tulisan apapun tak
luput dari tiga unsur: pengantar, isi dan penutup/kesimpulan. Ketiga unsur ini
tak pernah disebut tapi bisa dirasakan. Semakin banyak kita membaca tulisan
orang, akan semakin mudah kita menyerap dan membedakan mana yang pengantar, isi
dan kesimpulannya; dan semakin mudah kita 'meneladani' gaya dan cara
ekspresinya.
Biasanya kita akan cenderung meniru gaya penulis tenar atau
yang gaya tulisan yang sering muncul disalah satu koran yang menjadi incaranya,
yang bentuk dan ide tulisannya paling sesuai dengan ide-ide kita. Arif
Sulfiantono, misalnya, yang cenderung terbawa gaya menulis orang-orang yang
tulisanya sering nongol di KR, ini mungkin karena sasaran Arif masih sebatas
dimuat di KR saja.
Biasanya gaya tulisan juga banyak meniru tokoh-tokoh idolanya,
seperti jika diperhatikan lebih seksama gaya tulisan yang saya sajikan di
koran-koran yang telah dimuat mengikuti gaya bertutur Budiarto Shambazi,
seorang kolumnis di Kompas.
Saya sendiri, yang kata ayah saya "berotak lemah dan
bodoh", cenderung meniru gaya tulisan yang mudah dipaham orang, kendatipun
saya tidak terfokus meniru satu gaya tertentu. Tulisan-tulisan Buya Hamka, Gus
Sholahudin Wahid, Buya Syafii Ma’afir sangat mudah dicerna otak saya yang
lamban, dan mungkin sedikit banyak mempengaruhi gaya saya menulis. Seperti yang
sudah disinggung di pada tip sebelumnya, tulisan opini adalah berupa tanggapan
dari fenomena yang lagi tren saat ini. Dalam konteks tulisan opini di koran,
maka tulisan yang perlu kita tanggapi adalah sebagai berikut:
1. Isi Editorial/Tajuk sebuah media.
2. Headline/Berita utama sebuah media.
3. Tulisan opini.
4. Hari besar Nasional dan Internasional.
Siapapun yang ingin jadi penulis/pengamat hendaknya tidak
pernah melewatkan tiga poin pertama di atas setiap kali membaca sebuah koran.
Dan selalu mengingat poin ke empat.
(1) Tanggapan Editorial/Tajuk sebuah media
adalah suara atau sikap resmi dari media yang bersangkutan tentang sebuah
kasus/kejadian tertentu; sesuai dengan misi media tsb. Menanggapi
editorial/tajuk di harian Kompas tentu saja berbeda dengan cara kita menanggapi
editorial di harian Republika, misalnya.
Umumnya
menanggapi tulisan editorial/tajuk harus cepat.Idealnya, tanggapan untuk
tajuk/editorial hari ini dapat dikirim hari ini juga sehingga dapat dimuat esok
harinya di media terkait.Namun, kalau tanggapan kita baru selesai dalam dua
hari, teruskan dikirim ke media terkait, karena peluang untuk dimuat masih
tinggi terutama untuk media yang tak sebesar Kompas.
(2) Tanggapan Headline Media/Berita Utama
juga bisa dijadikan pijakan untuk menulis. Jangan lupa untuk mencatat nama
media/tanggal/bulan headlines yang kita kutip.
(3) Tanggapan Artikel Opini. Artikel opini
dikenal juga dengan istilah artikel OP-ED (singkatan dari
opini-editorial).Umumnya artikel OP-ED yang menanggapi artikel OP-ED lain
berisi tambahan yang lebih lengkap dari yang dibahas sebelumnya atau menentang
artikel yang ditanggapi.
(4) Hari
besar nasional/internasional adalah tulisan yang isinya berkaitan dengan hari
besar pada saat itu. Contoh, pada sekitar 21 Januari mendatang adalah Hari Raya
Idul Adha.Siapkan sejak sekarang tulisan yang berkaitan dengan hari Idul Adha.Dan
kirimkan segera ke media sebelum hari H.
Catatan:
Umumnya kita mengirim tulisan yang berdasarkan tanggapan atas
Editorial atau Headlines pada media yang kita tanggapi. Contoh, tanggapan
Editorial/Headlines di Kompas hendaknya dikirim ke Kompas, tidak ke media lain.
Namun kalau tidak dimuat di media terkait, tak ada salahnya dikirim ke media
lain. Sedangkan untuk artikel OP-ED yang berkaitan dengan hari besar
nasional/internasional dapat dikirim ke media mana saja.
Kalau Artikel Tidak Dimuat
Untuk Kompas dan Suara Pembaruan tulisan yang tidak dimuat
biasanya mendapat pemberitahuan dari redaksi.Sedangkan di koran-koran lain
tanpa pemberitahuan. Umumnya, kalau dalam waktu seminggu tulisan tidak muncul,
berarti tulisan kita tidak dimuat dan bisa dikirim ke media/koran lain.J angan
lupa, tulisan yang sama dapat dikirim ke dua media yang berbeda asal tidak sama
segmennya. Contoh, satu tulisan bisa saja dikirim ke media nasional dan media
daerah (tentu saja tidak sekaligus di-CC-kan dalam satu email). Tapi jangan
sekali-kali mengirim satu tulisan ke dua media yang sama segmennya. Seperti
pada dua media nasional atau dua media daerah yang sama. Contoh, Kompas dan
Republika (dua media nasional) atau Harian Jogja dan KR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar