Allahu Akbar! Ternyata Mas Indra berasal
dari Jombor, Sleman. Namanya Mas Indra. Alumni Perminyakan UPN Veteran Jogja.
Mas Indra juga akan menuju Beijing untuk urusan pekerjaan. Dia bekerja di perusahaan
konsultan tambang di Swedia yang men-support
perusahaan minyak Internasioal, Conoco. Sudah 3 tahun dia bekerja di China
seperti Hongkong, dan Shenzhen. Untuk
ke Beijing dia baru pertama kali ini. Dia juga masih buta di Beijing, kemampuan
Bahasa Mandarinnya juga sama sepertiku. Katanya, ada penjemput sopir kantor
saat Dia nantinya tiba di bandara Beijing. Dia akan kerja di lepas pantai
selama satu bulan. Kemudian pulang ke Indonesia dan free selama satu bulan.
Akhirnya aku dan mas Indra tiba giliran
masuk, bagian terakhir. Tempat duduknya ternyata belakangku. Aku nomor 18A, dia
19C. Aku minta agar Dia mau membantuku selama di Beijing, minimal bisa nebeng
mobil penjemputnya menuju kampus.
Aku sms istri dan AJi untuk
memberitahu pesawatku akan segera take off, hp akan aku matikan. Belum ada
balasan sms dari teman yang kuliah di Beijing. HP aku matikan.
Di dalam pesawat, tempat duduknya
berbujur 3-3. Aku duduk bersama sepasang suami-istri paruh baya dari Turki.
Tempat dudukku di samping jendela. Aku sangat ngantuk, karena seharian belum
tidur. 3 malam sebelumnya juga kurang tidur. Untuk persiapan agar tetap fit
selama penerbangan, bagian perut aku tempelkan koyo ‘Salonpas’ 2 lembar.
TV kecil ukuran 10 inchi di depanku
menayangkan cara-cara memakai sabuk pengaman dan keselamatan jika terjadi
kecelakaan.
Begitu pesawat take-off sekitar pukul 01.00 WIB segera kupejamkan mata. Aku tidur.
Jam 4.25 pagi WIB aku bangun. Kata seorang teman yang
kuliah di China, waktunya terpaut 1 jam dengan Indonesia, maju 1 jam. Tidak
tahu sampai mana. Pesawat terbang dengan tenang. Di dalam pesawat hampir
semuanya tidur dengan penerangan lampu yang remang-remang. Segera aku tayamum
untuk melakukan sholat shuhuh.
Aku coba untuk melakukan dzikir
al-matsurat. Bibirku kering, haus.
Aku coba pejamkan mata untuk tidur
lagi. Setelah sekian lama mencoba tidur, Alhamdulillah bisa tidur sebentar.
Pukul 07.00 pagi ada pemberitahuan
pesawat akan transit di bandara Xiamen. Karena baru pertama kalinya aku
melakukan perjalanan keluar negeri yang cukup jauh, sengaja aku membututi Mas
Indra. Aku ngomong ke dia kalau aku masih belum faham selama transit.
Di Xiamen aku berpisah dengan Edwin
dan David. Mereka belok kiri, aku belok kanan.
Penumpang yang menuju Beijing diminta mengisi kartu
penumpang asing dan diperiksa oleh petugas Imigrasi China. Paspor dan Visa
diperiksa, kami-pun diambil fotonya.
Selesai pemeriksaan, aku dan mas
Indra pergi ke toilet. Bandara Xiamen bagus, bersih, seperti Mall di Indonesia.
Setelah itu mas Indra mengajak ke café untuk ngopi. Tiba di Eljah Café aku
lihat daftar harganya. Rata-rata 50an Yuan, berarti itu dikali Rp 1500. Karena
aku sangat haus aku tidak beli kopi. Aku ambil air putih 2 gelas. Udah menjadi
kebiasaan bangun tidur aku harus minum air putih 2 gelas.
Sengaja aku ambil 2 gelas, yang satu
gelas aku berikan Mas Indra. Tapi mas Indra memilih minum kopinya seharga 56
Yuan. Mas Indra meminta kuitansi pada pramuniaga. Katanya itu bisa diganti oleh
kantornya, karena dalam perjalanan tugas dinas.
Akhirnya air putihnya aku minum juga.
Alhamdulillah rasa haus berkurang.
Mas Indra baru menyeruput satu
tegukan kopi ternyata sudah ada pemberitahuan kalau pesawat Air China akan
segera berangkat ke Beijing. Penumpang diharap segera masuk ke dalam pesawat.
Akhirnya kami masuk ke dalam pesawat.
Kamipun antri masuk dengan menunjukkan karcis dan paspor. Sempat aku lihat ada
seorang remaja laki-laki Chinese yang memegang paspor hijau sama sepertiku.
Aku sapa dia, dan aku Tanya, “Pergi
ke Beijing mas? Dalam rangka apa?” Dia menjawab kalau dia pergi ke Beijing
untuk sekolah S1 di Tsing-hua University.
Allahu Akbar! Aku ingat kalau
kampusnya Tsing-hua itu berdekatan dengan kampusku Beijing Forestry University
(BFU).
Namanya Peter, asalnya dari Bandung.
Tubuhnya berukuran sedang, setinggi denganku, memakai kacamata frame hitam sama
sepertiku, dengan rambut gaya Bandboys.
Dia ternyata bersama kakaknya, Michael yang kuliah di Beijing University.
Michael setinggi Peter, bedanya dengan Peter hanya pada rambutnya yang agak
cepak.
Peter kuliah di Bioteknologi, sedang
Michael di Sistem Informasi. Mereka berdua sejak SMA sudah sekolah di Beijing
dan satu angkatan. Peter lebih dulu maju satu tahun, sedangkan Michael lebih
lambat satu tahun.
Langsung aja aku terus terang ngomong
ke mereka kalau aku betul-betul buta dengan kondisi Beijing, dan kemampuan
bahasa Mandarinku juga nol. Aku minta tolong mereka, terutama Peter agar
membantuku mencari kampusku begitu tiba di Beijing.
Obrolan kami berhenti disitu, karena
kami harus kembali duduk sesuai nomor urut. Mereka berada pada nomor 15 dan 16.
Karena merasa lapar, aku makan roti
sobek 1 iris, bekal yang aku beli di Giant, dekat rumah Ajik, di Tangerang.
Badan terasa kurang fit. Di seberang tempat duduk ada penumpang orang China
yang muntah-muntah di dalam kantong “airsickness
bag”.
TV di depanku memutar film “Wild Man”. Filmnya berkisah tentang
seorang laki-laki Barat yang bertualang di hutan dengan penuh survival. Dia
jelajahi sungai, air terjun, gua sampai
makan binatang-binatang liar ukuran kecil seperti kalajengking.
Ah kapan-kapan film itu aku cari di
Youtube.
Kucoba bertahan dengan berdoa dalam
hati memohon kekuatan kepada-Nya.
Kemudian aku minta pada pramugari air
putih, “drinking water please”.
Kuperoleh 1 gelas air putih. Lega rasanya.
Laki-laki Turki yang duduk disebelah
kananku membuka laptop. Aku lihat dia membaca berita dan mengirim email dalam
bahasa Turki. Istrinya yang ada di sebelah kanannya tidur dengan mata ditutup
kain.
Saat pesawat mau take-off pukul 07.30. Dia mematikan laptop dan memasukkan ke dalam
tasnya yang ditaruh dibawah kakinya. Dia ganti dengan mengambil buku yang
sampulnya berwarna biru muda. Segera dia tenggelam dalam keasyikan membaca
bukunya.
Kucoba untuk pejamkan mata lagi.
Beberapa puluh menit tetap tidak bisa tidur. Akhirnya kubuka mata, kulihat
pemandangan di luar, sangat cerah. Sayang tidak bisa melihat ke bawah, karena
tertutup awan.
Sekitar pukul 08.15 WIB Aku lihat
pramugari mulai membagikan makanan dan minuman kepada penumpang. Tiba
giliranku, dia menawari, “Chinese or
West?”
Aku pilih West, karena makanan China
biasanya mengandung minyak babi.
Menu “West” ternyata berupa roti dan
1 mangkuk pasta. Aku hanya memakan roti dan buah semangka saja. Karena begitu
mangkuk pasta aku buka tercium bau yang dapat membuatku mual, terasa mau
muntah.
Sepasang suami-istri di sampingku
tidak makan. Mereka memilih untuk tidur. Pramugari sekarang datang untuk
menawarkan minuman. Aku memilih minuman air putih dan pepsi. Soda yang ada di
pepsi aku butuhkan untuk menghilangkan rasa mual di perut. Salonpas yang ada di
perut aku ganti dengan yang baru. Aku juga mengunyah 2 permen Tolak Angin yang
aku bawa dari Jogja.
Segera nampan berisi tempat buah dan
semangkuk pasta utuh aku berikan kepada pramugari lagi. Aku mencoba untuk
memejamkan mata lagi. Aku memilih untuk mencoba tidur, karena di dalam
kendaraan yang berjalan aku mudah muntah jika membaca, baik berupa buku maupun
HP.
Walaupun sulit untuk tidur, tapi aku
rasa aku dapat tidur beberapa menit. Aku bangun sekitar pukul 11.00 WIB. Kubuka
jendela pesawat, aku lihat pemandangan di bawah ada sungai berkelok-kelok
panjang. Di sampingnya ada hamparan berkotak-kotak lahan pertanian yang
teratur. Bangunan-pun berdiri teratur.
Bangunan dan lahan pertanian di samping sungai di China tampak teratur
Tidak lama kemudian ada pemberitahuan
pesawat 20 menit lagi akan landing di
bandara Beijing. Penumpang sebagian besar mulai bangun dan bersiap-siap.
Begitu landing dan pesawat berhenti, penumpang banyak yang mengambil
tas-tas yang berada di dalam kabin pesawat. Pramugari marah-marah dan
memberitahu kalau belum saatnya mengambil tas, Dia menutup kabin dan meminta
penumpang duduk kembali, karena pesawat belum tepat berhenti.
Benar, tak lama kemudian pesawat
berjalan untuk benar-benar parkir. Kemudian mobil tangga mulai masuk, pintu-pun
terbuka. Segera kuambil tas dan kucari Peter dan Michael.
Ternyata mereka sudah menungguku.
Kemudian aku ngomong ke Mas Indra
kalau aku bareng mereka saja yang sudah kenal betul daerah kampusku. Aku minta
nomor HP dan alamat emailnya. Sempat aku berpikir seandainya aku tidak nyaman
di Beijing dan sangat ingin pulan aku akan telpon Mas Indra agar meminjami aku
uang untuk beli tiket pulang. Nantinya uang itu akan aku kembalikan di rumahnya
Jombor.
Maklum aku hanya bawa tabungan BCA
sebesar 1,25 juta dan 1000Yuan. Sangat kurang jika untuk beli tiket pesawat.
Kami-pun kemudian berpisah.
Aku bareng Peter dan Michael mulai
mengambil koper dalam bagasi pesawat.
Ternyata bawaan mereka banyak,
masing-masing tiga tas. Mereka memutuskan untuk naik taksi. Mereka cukup
bingung untuk keluar dari bandara menuju taksi. Kata mereka, baru
pertamakalinya naik China Air yang ternyata berbeda dengan jalan keluar saat
mereka naik Garuda.
Sambil jalan aku ajak ngobrol mereka.
Papa mereka profesinya pengusaha ternak ayam yang sukses, dan yang menarik
ternyata Mamanya lulusan Kehutanan UGM juga. Satu almamater!
Luar biasa Skenario Allah, susah
ditebak. Allah menepat janji-Nya untuk senantiasa menolong hamba-Nya yang
kesusahan.
Bandara Beijing lebih besar dan lebih
megah dari Xiamen. Sangat luas, dan tertata modern. Kami berjalan menuju pintu
keluar menuju lokasi tempat mangkal taksi.
Bagian dalam Beijing Airport tampak megah dan bersih
Penumpang pesawat yang akan
menggunakan taksi berdiri antri menunggu taksi yang lewat. Taksi juga antri
mengangkut penumpang.Tiba giliran kami, ternyata sopir taksi tidak mau
mengangkut kami, karena rombongan kami terlalu banyak bawaannya.
Ada sopir angkutan lain yang lebih
besar, mirip L300 yang menawari kami bertiga. Tapi sangat mahal, dia minta
ongkos 400Yuan. Akhirnya Michael memutuskan untuk naik taksi sendirian. Aku
juga ngomong kepada mereka, nanti ongkos taksiku bersama Peter aku yang akan
nanggung.
Akhirnya aku dan Peter masuk taksi.
Sopir taksi ternyata berada di sebelah kiri, beda dengan Indonesia. Taksinya
tidak ber-AC. Jendela samping sopir dibuka, aku duduk tepat dibelakang sopir.
Angin mulai bertiup masuk ke dalam mobil. Untung aku memakai baju lapis 2
ditambah jaket lapangan Tribun-Merapi, dan topi Raksana Paksiwana – Kampanye
Kehati 2012 yang masih aku pakai.
Aku masih merasa kurang enak badan.
Agak mual. Makanya aku duduk agak membungkuk. Kuambil permen vitamin C “Vicee”,
kuhisap satu butir, satunya kuberikan kepada Peter.
Ternyata jalan raya di Beijing sangat
lebar. Beruntung kondisi jalan sepi sehingga kami dapat berjalan lancar.
Jalan raya di Beijing lebar dan teduh
Di tengah perjalanan Peter
menunjukkan bangunan bersejarah, seperti Olympic Building yang dibangun untuk
Olimpiade tahun 2008. Ada Stadium Sarang Burung, Stadium Air, dlsb.
Dia juga bercerita juga kalau Dia sebenarnya diterima juga
di Beijing University. Tapi keluarganya menyarankan agar memilih Tsing-hua
saja, karena banyak pejabat-pejabat pemerintah yang berasal dari Tsing-Hua,
seperti Perdana Menteri China sekarang.
Sekitar 40 menit perjalanan kami
sampai pada kampus BFU. Kampusnya sangat besar, seukuran UGM, tapi lebih bagus,
lebih bersih dan lebih rindang. Suasananya sangat ramai. Banyak mahasiswa yang
mendirikan ‘lapak-lapak’ . Ternyata mereka promosi kegiatan mahasiswa (di UGM
namanya UKM/Unit Kegiatan Mahasiswa) kepada mahasiswa baru.
Sebelumnya aku minta kepada Peter
agar membantuku menelpon petugas International Student Office yang bernama Lin
Yu. Ongkos taksi cukup murah, sebanyak 84Yuan. Peter berminat untuk membayari,
tapi aku mendahului memberikan 100Yuan kepada sopir taksi. Kembaliannya
diberikan kepadaku. Peter meminta print
out ongkos taksi.
Kemudian Peter berjalan mencari
Gedung International Student Office.
Ternyata gedungnya ada disebelah kami sewaktu keluar dari taksi. Lokasi Office
ternyata ada di lantai 3, tepatnya di Ruang 322. Tas koper kami titipkan pada
petugas receptionist di lantai dasar.
Begitu sampai di Ruang 322, Peter
memberitahu kepada petugas dalam ruangan kalau dia mengantarku, peserta
beasiswa APFNet. Aku diminta menunggu jam 14.00, berarti 15 menit lagi akan
sampai.
Peter segera pamit kepadaku, karena
harus segera kembali ke apartemen kampus Tsing-hua University. Tak lupa aku
ucapkan banyak terimakasih kepadanya, dan memohon agar bisa menolongku di lain
waktu. Aku juga minta nomor telponnya.
Di dalam ruangan, aku merasa haus,
aku minta air putih kepada seorang bapak tua petugas dalam ruangan. Bapak tua
itu memberikan satu botol air mineral. Kemudian aku ijin ke toilet dahulu.
Toilet ada di depan ruangan. Ternyata
toilet untuk kencing hanya ada yang model berdiri dengan tanpa alat penyiram
alat kelamin. Aku coba masuk ke dalam WC. Ternyata WC jongkok dengan tanpa alat
penyiram anus maupun alat kelamin pula. Tidak ada ember maupun selang juga.
Aku keluar. Aku lihat ada seember
alat pembersih toilet ada disamping wastafel. Aku ambil ember tersebut, aku isi
dengan air dari wastafel. Segera aku bawa ke dalam WC.
Lega rasanya bisa kencing dan buang hajat.
Aku kemudian kembali ke dalam ruangan
Office. Ternyata Mr Lin Yu sudah
berada dalam ruangan. Dia masih muda, sekitar 30an tahun, agak tinggi-kurus.
Dia menyodorkan daftar nama penerima beasiswa agar aku tandatangan, dan
memberikan uang beasiswa untuk hidup sebanyak 1700Yuan dan asuransi sebesar
400Yuan selama 1 bulan. Aku hitung, Alhamdulillah cocok, semuanya 2100Yuan.
Ada seorang ibu paruh baya yang masuk
ruangan, ternyata beliau juga petugas. Beliau tidak bisa bahasa Inggris.
Akhirnya Mr Lin Yu membantu ibu tersebut berbicara kepadaku. Ternyata ibu
tersebut ingin memotretku untuk dokumentasi.
Selesai pemotretan, kemudia ada
seorang bapak paruh baya masuk ke dalam ruangan. Ternyata dia adalah petugas
apartemen. Sayang beliau tidak bisa berbahasa Inggris. Aku diminta untuk
mengikuti beliau menuju apartemenku. Kemudian bapak petugas tersebut mengambil
sepedanya yang diparkir, dan dituntun, dengan aku berjalan di belakangnya
-bersambung-
Beijing, 4 September
2012, pukul 20.19 waktu China
Catatan Perjalanan Beijing, China (4): Yakinlah, Allah senantiasa bersama kita - Bagian 3
Untuk menuju apartemenku, aku harus berjalan sekitar 500meter melewati gedung Museum of BFU, Library of BFU, Classroom Building dan beberapa apartemen mahasiswa. Tiba di apartemen nomor 7 aku diminta masuk, di samping pintu masuk adalah kamar nomor 701.
Lantai apartemen berupa keramik. Sempat aku lihat ada dapur dan mesin cuci. Kompor tidak ada. Kemudian aku mengikuti bapak petugas tersebut naik ke atas melewati tangga kayu “partikel board”. Kamarku ternyata nomor 704, berada paling pojok. Depan kamar adalah kamar nomor 702 dan 703.
Kamarku seukuran sekitar 6 x 2 meter. Ada rak buku yang jadi satu dengan meja belajar dengan kursi office; almari pakaian besar; dan spring bed besar dengan sprei berwarna putih, 1 bantal, dan 1 selimut besar-tebal. Tas ransel aku masukkan ke dalam almari.
Kemudian Bapak petugas tersebut menjelaskan dalam Bahasa Mandarin dimana aku jelas tidak memahaminya. Intinya listri di kamarku dan kamar umum belum bisa nyala, dan aku ditunjukkan pusat listrik yang harus dihidupkan dengan semacam pulsa listrik dari sebuah kartu. Akhirnya aku diminta untuk mengikutinya lagi.
Kali ini jalannya cukup jauh, sekitar 600 meter dari apartemen. Melewati gedung International Student Office. Ternyata Bapak tersebut mengajakku untuk membeli pulsa listrik 2 buah seharga masing-masing 20Yuan. Kemudian kami langsung balik ke apartemen.
Akhirnya aku ditunjukkan cara mengoperasikan listrik, termasuk menyalakan lampu dan AC kamar. Untuk kamar mandi dan WC ada di bawah; kami gunakan berempat seandainya semua kamar terisi penuh.
Kemudian Bapak tersebut pamit keluar lagi. Aku kembali masuk ke dalam kamar. Aku keluarkan barang-barang yang ada di dalam 2 tas, kemudian aku taruh di meja belajar. Pakaian aku masukkan ke dalam almari.
Karena capek, aku putuskan mandi. Dengan memakai shower, aku mandi air hangat. WC ada di sebelah kamar mandi. Tidak ada ember satupun, termasuk gayung. Wah nanti harus cari untuk beli nih.
Setelah mandi kemudian aku sholat dhuhur dan ashar dengan jamak qashar. Bingung menentukan arah kiblat. Aku lihat keluar, aku putuskan untuk berlawanan dengan arah matahari tenggelam. Khusyuk aku sholat, karena berada dalam kesendirian dan kesepian.
Setelah sholat aku putuskan untuk tidur.
Sangat susah. Aku tenggelam dalam kesepian. Baru pertama kali ini aku mengalami benar-benar kesepian. Teringat rumah. Ingat istri dan lucunya anak-anak. Beberapa saat kemudian aku ingat untuk menelpon Peter agar besok pagi bisa mengantarku ke KBRI agar aku dapat informasi tentang mahasiswa Indonesia yang sekolah di BFU atau tempat lain yang dekat. Karena belum mempunyai nomor China aku piker harus kembali ke International Student Office untuk pinjam telpon.
Kemudian aku kenakan pakaian eiger hijau lagi dan memakai sepatu. Tak lupa kamera dan paspor senantiasa aku bawa.
Aku berjalan lagi 500 meter menuju Office. Kucoba ambil jalan lain. Ternyata ada toko swalayan di pojok jalan. Aku coba masuk ternyata menjual barang-barang dan makanan untuk kebutuhan sehari-hari mahasiswa, seperti sabun, alat2 tulis, dan snack-minuman. Aku keluar lagi, nanti saja belanja.
Tiba di gedung Office sebelum masuk ke dalam ruangan 322 aku bertemu dengan lelaki Afrika yang tentu saja berkulit hitam. Aku sapa dia dan aku ajak kenalan. Dia berasal dari Mali, Afrika, mahasiswa PhD.
Allahu Akbar! Mahasiswa yang bernama Hamid Senou tersebut ternyata muslim. Aku Tanya arah kiblat ternyata arahnya sama dengan yang aku praktekkan. Dia ternyata sudah tahu aku, karena istrinya sudah menceritakannya. Apartemennya berada di sebelah kanan apartemenku, nomor 9, paling ujung.
Kemudian aku putuskan untuk pinjam HPnya agar aku dapat menelpon Peter. Dia dengan senang hati meminjami HPnya. Aku telpon Peter untuk meminta tolong besok mengantarku ke KBRI untuk menyerahkan surat ke Atase Pendidikan dan mencari data mahasiswa Indonesia. Peter sanggup mengantarku besok pada pukul 08.00 pagi, dengan ketemuan di gedung Office.
Sebetulnya aku ingin pinjam HPnya lagi untuk sms orang rumah yang aku yakin menunggu kabarku. Tapi sayang HPnya Hamid tidak bisa untuk berkomunikasi ke luar negeri.
Aku Tanya kepadanya jadwal sholat di Beijing. Waktunya ternyata mirip dengan Indonesia, jika aku ganti jam di HPku menjadi maju 1 jam, sesuai waktu di China. Shubuh sekitar jam 04.30; Dhuhur 12.00 - 14.00; Ashar 15.00 – 16.00; Maghrib 18.50; Isya pukul 21.00.
Hamid ternyata baru 1 tahun di BFU. Dia mengajak istrinya yang baru dinikahi 3 tahun yang lalu. Mereka belum dikaruniai anak. Dia sengaja mengajak istrinya, karena godaan iman lumayan berat. Banyak mahasiswi China yang cantik-putih memakai pakaian mini, tiap hari seperti kontes fotomodel.
Kemudian aku bilang ke dia, wah berarti aku besok juga mengajak istri nih. Dia menyarankan agar aku tidak usah mengajak istri karena waktu yang tidak terlalu lama. Aku jadi berpikir kalau begitu aku harus banyak berpuasa nih, puasa Daud untuk menjaga iman dan dapat menghemat uang. Minimal untuk pekan ini puasa Syawal dulu
Kemudian aku minta tolong lagi kepada Hamid agar mau menunjukkan dimana lokasi Kantin Kampus yang menjual makanan halal. Akhirnya aku diajak untuk mengikutinya. Hamid kemudian mengambil sepedanya dan menuntun sambil berjalan di sampingku. Mayoritas mahasiswa di sini menggunakan sepeda, hanya sedikit yang menggunakan sepeda listrik. Tidak ada yang menggunakan sepeda motor, apalagi mobil. Banyak sepeda yang diparkir di depan beberapa gedung.
Kami berjalan sekitar 100an meter. Ternyata lokasi Kantin halal ada di samping toko tempat aku membeli pulsa listrik. Lokasi kantin ada di lantai 2 di sebuah gedung. Karena aku belum mempunyai Student Card, aku membeli nasi sayur dengan uang Cash. Aku tunjukkan sayur yang aku pilih, termasuk satu gelas Coca-cola.
Minuman soda aku butuhkan untuk menghilangkan rasa mual yang masih saja aku rasakan. Semuanya hanya 4,5Yuan. Sangat murah. Mungkin kalau aku sudah punya Student Card dapat lebih murah lagi. Aku minta kepada Hamid untuk ngomong kepada pelayan agar makananku dibungkus saja.
Keluar dari Kantin halal aku minta Dia untuk menunjukkan lokasi dimana aku bisa beli kartu perdana China agar aku dapat memberitahu rumah, terutama istri. Kemudian kami turun ke lantai dasar dan masuk ke dalam gedung. Ternyata ada toko kecil yang menjual pulsa dan kartu perdana, serta beberapa accesoris HP tepat di bawah tangga.
Kata Hamid, di China tiap orang hanya mempunyai satu nomor. Mungkin ini adalah salah satu cara Pemerintah China dalam mengelola saluran komunikasi penduduknya sehingga dapat teramati dengan cermat.
Cukup lama aku menunggu proses pembuatan kartuku. Hampir 30 menit. Kemudian aku diminta membayar 150Yuan untuk kartuku. Cukup mahal juga. Kata Hamid itu untuk membeli IP: 17968, nomor HPku adalah 188 1158 9270. Kemudian aku diminta untuk mencoba menelpon dia, ternyata bisa. Kemudian aku sms ke istri, dengan terlebih dahulu meng-edit nomor istri menjadi +62.
“Alhmdlh sampe kampus td siang, udah dpt asrama & uang 2100Yuan. Ini dpt kenalan mhsw PhD dr Mali,Muslim.Ayah minta tlng dia ngajari macem2, tmsk beli perdana 150.”
Allahu Akbar ternyata delivered.
Beijing, 5 September 2012, pukul 00:55 waktu China
Tidak ada komentar:
Posting Komentar