Sektor pertanian sebagai sektor bisnis riil yang berpotensi untung maupun rugi, sangat relevan untuk mendapatkan modal dari lembaga pembiayaan perbankan syariah. Prinsip perbankan syariah didasarkan atas prinsip Syirkah (kemitraan usaha) dengan menerapkan sistem profit dan loss sharing dalam operasionalnya. Perbedaan mendasar antara sistem pembiayaan syariah dan konvensional terletak pada pembagian risiko usaha.
Pada pembiayaan konvensional (berbasis bunga), balas jasa pinjaman modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu dan risiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk posisi nasabah sebagai deposan, risiko sepenuhnya berada pada pihak bank dan sebaliknya apabila nasabah sebagai peminjam, risiko sepenuhnya berada di tangan peminjam. Sementara pada sistem syariah ditetapkan sistem bagi hasil dimana jasa dan modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh yang didasarkan pada akad. Prinsip utama dari akad ini adalah keadilan antara pemberi modal dan pemakai modal. Prinsip ini berlaku baik bagi debitur maupun kreditur.
Sayangnya, peran perbankan syariah dalam mendukung pembiayaan sektor pertanian masih rendah. Proporsi perbankan syariah dalam penyaluran pembiayaan baru mencapai sekitar dua persen dari angka penyaluran pembiayaan secara nasional. Alasan terbesar yang dikemukakan oleh mereka berkaitan dengan keengganan untuk mengucurkan pembiayaan ke sektor pertanian adalah lamanya tingkat perputaran uang di usaha pertanian.
Pada pembiayaan konvensional (berbasis bunga), balas jasa pinjaman modal ditentukan berdasarkan persentase tertentu dan risiko sepenuhnya ditanggung oleh salah satu pihak. Untuk posisi nasabah sebagai deposan, risiko sepenuhnya berada pada pihak bank dan sebaliknya apabila nasabah sebagai peminjam, risiko sepenuhnya berada di tangan peminjam. Sementara pada sistem syariah ditetapkan sistem bagi hasil dimana jasa dan modal diperhitungkan berdasarkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh yang didasarkan pada akad. Prinsip utama dari akad ini adalah keadilan antara pemberi modal dan pemakai modal. Prinsip ini berlaku baik bagi debitur maupun kreditur.
Sayangnya, peran perbankan syariah dalam mendukung pembiayaan sektor pertanian masih rendah. Proporsi perbankan syariah dalam penyaluran pembiayaan baru mencapai sekitar dua persen dari angka penyaluran pembiayaan secara nasional. Alasan terbesar yang dikemukakan oleh mereka berkaitan dengan keengganan untuk mengucurkan pembiayaan ke sektor pertanian adalah lamanya tingkat perputaran uang di usaha pertanian.
Alasan yang kedua dan ketiga adalah keterbatasan cash flow petani, dan minimnya nilai jaminan yang dapat diagunkan oleh petani kepada pihak lembaga keuangan. Porsi pembiayaan perbankan pada sektor pertanian yang kecil menimbulkan dampak negatif pada petani. Lingkaran setan kembali terjadi di lingkup masyarakat pedesaan, akibatnya bangsa Indonesia tidak akan segera dapat mandiri dalam sektor pangan. Berdasarkan hal tersebut perlu dicari model pembiayaan syariah yang cocok untuk diaplikasikan dalam bidang agribisnis/pertanian.
Tingginya potensi sektor pertanian di DIY (35,3% dalam serapan tenaga kerja di DIY) serta besarnya kontribusi sektoral pertanian terhadap PDRB DIY (11,05%) tidak diimbangi dengan besarnya porsi pembiayaan perbankan (kurang dari 10%) di bidang pertanian. Potensi pertanian yang bagus tersebut, kurang ditunjang para pelaku lembaga keuangan di DIY, baik lembaga perbankan, maupun non bank, yang enggan memberikan pembiayaan kepada para petani.
Berdasarkan penelitian Bank Indonesia dan Universitas Kristen Duta Wacana tahun 2007, komoditas jamur kuping dan jamur merang merupakan komoditas potensial DIY yang belum dikembangkan secara serius. Bahkan budidaya jamur merang mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kecamatan Sedayu, Bantul. Produk pertanian ini merupakan tanaman bernilai tambah tinggi, dalam arti mempunyai nilai tambah tinggi dari sisi nilai uang. Diharapkan pengembangan tanaman-tanaman ini di DIY akan meningkatkan kesejahteraan para petani lokal.
Hasil penelitian eksplorasi pembiayaan syariah pada sektor agribisnis di DIY diharapkan dapat memberikan gambaran dan masukan kepada Bank Indonesia untuk menentukan kebijakan, perbankan syariah dalam menyalurkan pembiayaan untuk sektor pertanian, serta masyarakat petani untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui pemberian modal sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Tesis ini bertujuan untuk mengetahui potensi pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis di propinsi DIY; analisis kelayakan usaha komoditas agribisnis jamur kuping dan jamur merang di propinsi DIY; serta tingkat bagi hasil yang reasonable pada usaha komoditas agribisnis jamur kuping dan jamur merang di propinsi DIY.
Penelitian ini bersifat eksporatif, berupaya untuk mengeksplorasi materi-materi pembahasan tentang potensi pembiayaan syariah di sektor agribisnis DIY serta analisis kelayakan usaha dan tingkat bagi hasil komoditi jamur kuping dan jamur merang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan empirik, melalui penelitian kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperkuat landasan teori yang dapat mendukung penelitian, baik dari buku ilmiah, artikel ilmiah maupun hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian lapangan dilakukan melalui observasi ke pelaku usaha agribisnis jamur kuping dan jamur merang.
Hasil penelitian menunjukkan produk-produk pembiayaan perbankan syariah yang dapat dipilih untuk usaha pertanian/agribisnis, sesuai dengan tingkat pemahaman pelaku usahatani adalah (1) mudharabah, (2) musyarakah, (3) muzara’ah, (4) murabahah, (5) salam, (6) istishna’, (7) dan ar-rahn. Beberapa hal yang melandasi prospek pembiayaan syariah untuk sektor agribisnis adalah sebagai berikut: (1) karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis agribisnis; (2) skim pembiayaan syariah sudah dipraktekkan secara luas oleh petani Indonesia; (3) luasnya cakupan usaha dan komoditas di sektor pertanian; (4) produk pembiayaan syariah cukup beragam; (5) komitmen bank syariah untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM); dan (6) usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil.
Hasil analisis Location Quotient (LQ) sektor pertanian memberikan andil terbesar (11,05%) terhadap pertumbuhan PDRB DIY pada triwulan I tahun 2008. Penduduk DIY paling banyak bekerja di sektor pertanian (35,3%). Dua hal tersebut menjadikan sektor ini mempunyai peran strategis di perekonomian DIY dan potensi besar di pembiayaan perbankan syariah.
Analisis kelayakan usaha pada budidaya jamur kuping per periode (6 bulan) adalah: profit margin sebesar 22,73%; BEP sebesar 105 Kg atau penjualan Rp. 4.200.000,-; Payback Period dalam waktu 2 tahun 3 bulan; NPV sebesar Rp.17.732.275,-; dan IRR sebesar 42,01%. Nilai NPV yang lebih besar dari 1 (satu) dan IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga 16%, menjadikan usaha budidaya jamur kuping ini cukup layak dan menguntungkan. Tingkat bagi hasil bagi bank 39,64% (Rp.4.892.543,22) dan bagi hasil bagi nasabah 60,36% (Rp.7.449.896,78).
Analisis kelayakan usaha pada budidaya jamur merang per bulan adalah: profit margin sebesar 20,32%; BEP sebesar 152 Kg atau penjualan Rp. 1.976.000,-; Payback Period dalam waktu 11 bulan; NPV sebesar Rp.6.846.378; dan nilai IRR sebesar 91,54%. Nilai NPV yang lebih besar dari 1 (satu) dan IRR yang lebih besar dari tingkat suku bunga 16%, menjadikan usaha budidaya jamur merang ini layak dan menguntungkan. Tingkat bagi hasil bagi bank 33,39% (Rp.300.920,7) dan bagi hasil bagi nasabah 66,61% (Rp.600.289,3).
Hasil analisis skenario, analisis simulasi dan analisis prospek, budidaya jamur kuping dan jamur merang tetap menguntungkan pada kondisi perekonomian yang kurang baik, seperti inflasi 10%. Petani jamur kuping dan jamur merang lebih menguntungkan menggunakan skim pembiayaan syariah dibandingkan skim pembiayaan konvensional.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka peneliti berusaha memberikan saran-saran yang dapat menjadi kontribusi bagi pemerintah, Bank Indonesia, sektor pertanian serta perbankan syariah. Bagi pemerintah pada umumnya, jika ingin meningkatkan kemakmuran penduduk maka dapat melalui pembiayaan di sektor pertanian/agribisnis, karena mayoritas penduduk Indonesia pada umumnya dan DIY pada khususnya hidup di pedesaaan atau sektor pertanian.
Bagi Bank Indonesia, terbukti skim perbankan syariah cocok dan dapat diaplikasikan pada sektor pertanian/agribisnis di Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya BI menganggap serius pengembangan perbankan syariah di Indonesia melalui regulasi yang mendukung dan menguatkan. Bagi perbankan syariah, untuk memperhatikan pembiayaan pada sektor pertanian/agribisnis, karena terbukti mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada tingkat suku bunga. Bagi sektor agribisnis, terutama pelaku usaha budidaya jamur kuping dan jamur merang, skim pembiayaan syariah lebih memberikan keadilan dan porsi keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan skim pembiayaan konvensional.
makasih mas Sulfie, sebuah pandangan dan saran sangat bangus di tengah sulitnya petani mengakses kredit usaha yang pro kepada mereka. Memang permasalahan utama petani (kecil-sedang) adalah modal. Dan dalam hal ini sangat perlu adanya "bank pertanian" yang kalau bisa basis usahanya syariah. ane juga pernah nulis sedikit tinjaun tentang itu disini http://zainurihanif.com/2009/10/19/petani-yang-tidak-pernah-merugi/
BalasHapus