Tidak terasa, tepat satu tahun peristiwa letusan besar Merapi telah terlewatkan. 26 Oktober 2010 tepat pukul 17.23 WIB, gunung yang menjadi ciri khas kota Jogja itu menyemburkan awan panas yang menyambar lereng Selatan, menjangkau Kaliadem dan Kinahrejo. Raden Ngabehi Surakso Hargo atau Mbah Maridjan, juru kunci Merapi ikut menjadi korban.
Tanggal 5 November 2010 Merapi meletus lebih besar sehingga merenggut korban yang lebih banyak. Ratusan jiwa melayang. Korban ini bukan saja berupa manusia, atau harta benda, namun juga berupa hewan, baik ternak maupun satwa liar.
Kerusakan Kawasan TNGM
Kerugian tak ternilai lain adalah ekosistem dan keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Berdasarkan pengolahan data Citra IKONOS November 2010, 82%(5263 Hektar) dari 6.145,45 Hektar kawasan TNGM terdampak erupsi. Sekitar 2000-2500 Hektar (31-39%) dari luas kawasan yang berupa hutan pegunungan tropis telah rusak.
Erupsi Merapi kali ini membawa dampak hilangnya ekosistem hutan yang cukup luas. Adanya luncuran awan panas dan banjir lahar dingin ke arah selatan dan barat lereng Merapi mengakibatkan terjadi perubahan lingkungan di dalam kawasan. Perubahan lingkungan ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya. TNGM sebagaimana taman nasional yang lain, dikelola berdasarkan sistem zonasi.
Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Oktober 2011
Pengelolaan Taman Nasional
UU No. 5 tahun 1990 pasal 32 menjelaskan bahwa kawasan Taman Nasional (TN) dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Menurut Permenhut No 56 tahun 2006 tentang Pengelolaan Zonasi Taman Nasional, zonasi adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
|
Zonasi merupakan pengaturan tata ruang didalam kawasan TN menyesuaikan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi yang ada. Zonasi TNGM yang ada adalah hasil dari penyusunan Rencana Pengelolaan TNGM (2005) dan diperbaiki (di-review) zonasinya pada tahun 2008.
Rencana Pengelolaan TNGM
Bencana alam erupsi Merapi tahun 2010 memberi pelajaran yang sangat berharga bagi pengelolaan TNGM dalam melakukan penataan kawasan (zoning). Balai TNGM saat ini masih melakukan kajian dalam penerapan zonasi yang dinamis, karena bencana merapi mempunyai kecenderungan bersifat siklik.
Konsep pengelolaan TN yang berbasis pada mitigasi bencana alam (pengurangan resiko bencana alam) masih dalam tahap penyusunan. Pengelolaan TN berbasis pada mitigasi bencana adalah model pengelolaan yang disesuaikan dengan kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), dan komponen yang beresiko (elemen at risk) terhadap kepunahan.
Data kawasan terbaru pasca erupsi berikut potensi keanekaragaman hayati (kehati) dan sosial ekonomi masyarakat yang berbasis ilmiah sangat diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan TNGM ke depan. Data potensi kehati TNGM menunjukkan penurunan kuantitas, seperti jumlah jenis burung yang diidentifikasi ada 97, padahal sebelum erupsi 2010 mencapai 159 jenis (TNGM, 2011).
Hancurnya tempat tinggal dan hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar Merapi (terutama lereng Selatan) membawa efek perubahan profesi masyarakat. Kondisi ini tentunya mempengaruhi strategi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGM.
Kawasan TNGM yang mengalami kerusakan parah, seperti lereng Selatan akan dilakukan penanaman jenis pohon yang cepat tumbuh. Ini dimaksudkan sebagai penghalang (barrier) laju awan panas yang cenderung mengarah ke Selatan. Pihak Balai TNGM bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM berupaya melakukan pemilihan jenis tumbuhan yang sesuai dengan kondisi ekosistem Merapi dan cepat tumbuh.
Jenis tumbuhan yang ditanam juga disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar kawasan TNGM, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari keberadaan TNGM. Untuk tahun 2011 ini, Balai TNGM melibatkan masyarakat dalam kegiatan penanaman; seperti RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo; serta restorasi dari JICA.
Kegiatan penanaman kembali atau restorasi dilakukan dengan metode khusus. Peristiwa erupsi tahun 2006 memberi pelajaran berharga, Kali Gendol yang merupakan jalur awan panas, tanahnya masih panas pada kedalaman 2 meter selama 2 tahun.
Inilah salah satu sebab banyak bibit tanaman yang ditanam oleh masyarakat luar Merapi akhirnya cepat mati, karena tidak memakai metode khusus dan pemeliharaan. Oleh karena itu, pengelolaan TNGM ke depan diharapkan dapat mewujudkan keharmonisan hidup bersama Merapi, ‘Living Harmony With Merapi’. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar