Presiden SBY pada awal pemerintahannya tahun 2009 telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri, atau sampai 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020 dalam rangka mitigasi perubahan iklim global. Salah satu upaya yang diperlukan adalah penanaman dan pemeliharaan pohon yang dilakukan secara masal oleh setiap komponen bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah telah menetapkan setiap tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2008.
Melalui momen tanggal 28 November 2011 ini, Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memulai untuk melakukan kegiatan penghijauan hutan di kawasan TNGM. Kegiatan ini dilakukan setelah pihak Balai TNGM bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM melakukan kajian ekologi dan kondisi tanah setelah erupsi.
Restorasi Kawasan TNGM
Dampak erupsi Merapi -terutama awan panas dan lahar dingin- jelas merusak kawasan hutan TNGM. Kerusakan hutan yang sangat parah (hampir 100% kawasan rata tanah) terjadi di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman dan kecamatan Kemalang, Klaten. Kerusakan parah (50-75% pohon tumbang) terjadi di Pronojiwo-Gandok, Kaliurang, Sleman. Kerusakan sedang (25-50% vegetasi rusak) terjadi di kecamatan Dukun dan Srumbung, Magelang.
Untuk pemulihan kawasan TNGM maka dilakukan kegiatan restorasi, yakni proses untuk membantu pemulihan kembali suatu ekosistem yang telah rusak dan terdegradasi. Manusia sebagai ‘Khalifah fil Ardh’ harus menjaga dan meningkatkan jasa ekosistem, dimana pengertian ekosistem disini bukan berupa komoditi tetapi sistem yang hidup. Upaya restorasi merupakan petunjuk dari sikap manusia yang menyatu dengan alam, bukan berkuasa terhadap alam.
Restorasi yang ideal dapat mengembalikan fungsi ekosistem dan memiliki nilai sosial dan ekonomi terhadap masyarakat. Keberhasilan restorasi pada tiap ekoregion akan dapat dilihat dengan jelas pada sikap masyarakat, yakni meningkatkan kesadaran lingkungan. Salah satu kegiatan restorasi TNGM adalah survei kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TNGM. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk pemanfaatan kawasan TNGM oleh masyarakat; serta mengidentifikasi potensi dan kebutuhan masyarakat desa di sekitar kawasan TNGM. Kegiatan ini menjadi salah satu aspek dalam perancangan program restorasi kawasan dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar sebagai salah satu stakeholder.
Penghijauan Hutan TNGM
Erupsi Merapi tahun 2010 memberikan pelajaran berharga tentang suksesi di alam. Hutan tanaman Pinus (Pinus merkusii) di Merapi yang ditanam Perhutani sebelum TNGM terbentuk (SK penunjukan tahun 2004), ternyata tidak kuat menahan dampak awan panas Merapi. Tegakan hutan Pinus di lereng Selatan, sebagian besar mati terkena efek erupsi, seperti pasir dan abu panas.
Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Desember 2011
Hal ini berbeda dengan tanaman asli Merapi seperti Puspa (Schima wallichi) dan Rasalama (Altingia excelsa) yang dapat bertahan (survive). Tegakan Puspa dan Rasamala masih berdiri tegak, walaupun ranting dan daunnya habis terkena abu panas. 3 bulan setelah erupsi, keluar trubus pada tegakan Puspa dan Rasamala.
Demikian juga dengan tanaman bambu asli Merapi jenis apus (Gigantochloa apus). Bambu apus menjadi pioner dalam suksesi Merapi, sebulan setelah erupsi ketinggiannya mencapai rata-rata satu meter.
Padahal waktu tersebut banyak masyarakat luar Merapi yang melakukan program penanaman di kawasan tersebut. Akibatnya banyak tanaman baru hasil penanaman yang mati, apalagi tidak adanya metode khusus penanaman dan pemeliharaan.
Oleh karena itu, Balai TNGM menyiapkan jenis-jenis asli Merapi untuk menghijaukan kembali kawasan hutan, seperti Puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia excelsa), Pasang (Quercus turbinata), Kina (Chinchona ledgeriana), Dadap (erythrina-lithosperm), dan bambu (Gigantochloa apus). Balai TNGM bersama Fakultas Kehutanan UGM akan membangun demplot tanaman seluas 5 Hektar di Kalikuning, Cangkringan, Sleman dengan berbagai perlakuan (penanaman dan pemeliharaan).
Selain itu, LSM Jepang ‘JICA’ juga akan melakukan penanaman seluas 40 Hektar di Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Magelang dan Desa Mriyan, Kecamatan Musuk, Boyolali melalui kegiatan restorasi JICA. Tahun ini pula, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo (BP DAS SOP) Kementerian Kehutanan juga melakukan penghijauan di kawasan TNGM seluas 120 Hektar melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
Semua kegiatan penghijauan kawasan TNGM melibatkan masyarakat lokal sekitar kawasan TNGM, yakni dari pembibitan, penanaman sampai pemeliharaan. Kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan fungsi penting menjaga ekosistem Merapi, dimana Merapi sudah memberikan banyak manfaat terutama fungsi penyedia air. Tujuan akhir restorasi Merapi adalah menyadarkan manusia, bahwa manusia hanya dapat menyatu dengan alam, bukan berkuasa atas alam. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar